“Menulis buku ini membuatku harus membuka kembali banyak luka. Tetapi dengan mengakui luka, aku jadi bisa belajar bagaimana mengatasinya. Juga belajar menjadi lebih kuat lagi.” –Meira Anastasia (Imperfect, 2018)
Ini kalimat
di bagian belakang buku berjudul Imperfect
karya Meira Anastasia. Meira yang merupakan istri dari seorang public figure bernama Ernest Prakasa
sering kali mendapat rundungan daring dari warganet terkait rupa dan fisiknya.
Tampaknya, warganet menghakimi bagaimana seharusnya pasangan yang ideal untuk Ernest, yang konon katanya rupawan,
sementara itu penampilan Meira yang dianggap “tidak ideal” menjadi amunisi
untuk jari-jari bersenjata netizen yang
dilepaskan ke kolom-kolom komentar media sosial.
Sebagai
orang yang sering kali mendapat rundungan atas apa yang dapat dilihat dari
diri, seperti bagian wajah dan postur tubuh, kalimat yang ditulis Meira
seakan-akan menyadarkan saya. Luka atas rundungan tersebut perlu untuk dibuka,
meski rasanya akan perih dan sakit, untuk kemudian mengatasinya dan menjadi
lebih kuat. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membeli buku ini.
Terlahir
sebagai bayi besar dan bertumbuh menjadi apa yang orang-orang bilang bongsor. Berpostur gemuk dan tinggi.
Beberapa lainnya bilang gendut atau chubby.
Anak-anak yang gendut dan chubby mungkin
masih diasosiasikan dengan anak yang sehat dan lucu, sementara saat beranjak
remaja konotasi kedua kata ini menjadi negatif. Menjadi rundungan yang selalu
terngiang-ngiang di kepala. Kalimat-kalimat basa-basi atau memang sengaja
dilontarkan, seperti “Kok gemukan?”, “Tambah gendut ya sekarang?”, “Anak cewek
kok gendut banget deh?”, “Gemuk gini gimana bisa dapet pacar?”, “Gendut sih
makanya jomlo kan sampe sekarang!” dll. Jleb! Rasanya bingung, marah, kesal,
sakit hati, stres, campur aduk banget kalau ada orang yang ngomong seperti itu.
Entah sanak saudara dekat maupun jauh (dari sepupu sampe om dan tante), teman,
bahkan orang asing.
Apalagi
jika masih remaja dulu belum diajarkan bagaimana menerima diri sendiri dengan
baik, bagaimana merespon omongan orang yang sebenarnya nggak penting-penting
amat dan nggak perlu dipikiran juga dimasukkan ke dalam hati, hingga kampanye-kampanye body positivity pada
masa itu belum sebanyak sekarang. Tentu omongan negatif seperti itu bertumpuk
dan bertumbuh jadi duri dendam yang melukai hati dan pikiran. Omongan seperti
ini tidak hilang oleh waktu, ia hanya terpendam saja. Jika sewaktu-waktu ada
hal-hal yang memicunya naik ke permukaan, duri-duri tajam itu kembali menghujam
hari-hari yang harusnya sudah baik-baik saja. Mungkin, ini yang disebut
bagaimana trauma bekerja.
Efek
lainnya adalah menyalahkan diri sendiri atas tubuh yang enggak ideal dan mulai
cari-cari cara untuk menurunkan berat badan (yang malah suka bikin badan sakit
karena asal-asalan). Setiap menimbang berat badan selalu insecure angkanya naik, lihat kaca enggak bisa lama-lama karena
malu sama diri sendiri, enggak percaya diri tampil di kesempatan dan acara apa
pun, bersosialisasi dengan teman pun rasanya ragu-ragu enggak akan diterima
karena bentuk tubuh yang berbeda, dan berbagai dampak psikis lainnya. Parahnya,
sering kali muncul perasaan tidak pantas. Ini yang bikin rundungan sangat
beracun alias toxic!
Konstruksi sosial
di mana seorang perempuan harus cantik dan langsing menjadi beban dan tuntutan bagi
perempuan-perempuan yang tidak memilikinya. Kondisi setiap orang berbeda-beda,
baik perempuan maupun laki-laki, dan tidak semestinya dikonstrusikan, dihakimi
atau “dipaksakan” sesuai dengan apa yang katanya “ideal”. Kita enggak pernah
tahu apa yang menjadi latar belakang seseorang memiliki bentuk tubuh seperti
apa. Tidak hanya bentuk tubuh, begitu juga dengan aspek-aspek kehidupan
lainnya. Intinya, kurang-kurangi judge orang
hanya dari tampilan luarnya.
Buku dengan
sub-judul A Journey to Self-Acceptance ini
menceritakan perjalanan seorang ibu beranak dua ini berjibaku dengan
komentar-komentar warga di dunia maya maupun di dunia nyata yang kerap membuatnya
insecure. Menggunakan bahasa
percakapan sehari-hari, Meira membeberkan dengan rinci bagaimana ia menghadapi semua
itu. Cukup ringan sehingga mudah dipahami. Dilengkapi dengan ilustrasi menarik bergaya
sketsa yang mendukung penggambaran tiap tema tulisan sehingga pembaca tidak bosan dengan rangkaian teks. Buku berjumlah 172 halaman ini
tidak hanya menceritakan perjalanan Meira mengatasi luka, namun terdapat bonus
stiker berisi kutipan-kutipan dan panduan berolahraga yang dapat dilakukan di rumah.
Berikut beberapa
kutipan yang menarik dari buku ini:
“Kadang-kadang, kita memang harus jatuh dulu untuk bisa bangkit, berdiri, dan berlari lebih jauh lagi." (hal. 38)
“Intinya: apa pun yang dikatakan atau dilakukan orang kepada kita, jangan terlalu dimasukkan ke hati.” (hal. 39)
“Ubah insekyur jadi bersyukur.” (hal. 92)
“Think it over but don’t over think it.” (hal. 102)
“Ternyata, mengakui dan menerima ketidaksempurnaan malah bisa menjadi obat ampuh, daripada berusaha menyembunyikannya. Ternyata, aku bisa berkembang setelah menerima ketidaksempurnaanku karena aku tahu aku tidak sempurna, dan itu tidak apa-apa, hidup tetap berjalan seperti biasanya.” (hal. 128)
Buku dengan
format hardcover warna peach ini bisa mencerahkan siapa pun
yang membutuhkan inspirasi untuk menerima kondisi diri di tengan tuntutan netizen dan konstruksi sosial yang telah
ada selama ini. Dari buku ini, dapat dipetik pelajaran bahwa semua hal butuh
proses, seperti proses menerima dan proses memperbaiki diri. Proses juga butuh
waktu dan pengorbanan yang mudah-mudahan memberikan hasil sesuai harapan.
Oh iya, sebagai informasi tambahan, buku ini telah diadaptasi menjadi film berjudul Imperfect: Karier , Cinta, dan Timbangan yang rilis 19 Desember 2019 lalu. Kini, film yang berhasil menarik perhatian 2,6 juta penonton bioskop sudah tersedia di Netflix.
Informasi buku
Judul:
Imperfect
Penulis:
Meira Anastasia
Tahun
terbit: 2018
Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama
Desain
sampul & ilustrasi isi: Janji Studio
Editor:
Wedha Stratesti & Claudia Von Nasution
Fotografer:
Rahadyan Kukuh