Thursday, February 18, 2021

Sabtu Sore

Sehari sebelum hari kasih sayang
Saya berikan waktu untuk yang tersayang
Yaitu diri saya sendiri

Meluangkan waktu untuk diri sendiri atau biasa disebut quality time. Sabtu sore itu, saya berjalan kaki ke kedai kopi terdekat. Awalnya, ingin pesan daring es kopi susu gula aren terlaris, tapi karena ongkirnya bisa buat segelas kopi lagi membuat saya mencari alternatif yang lain. 

Setelah dipikir-pikir, radius 2 km dari tempat tinggal terdapat beberapa kedai kopi. Sebelum pandemi, beberapa sudah pernah saya kunjungi. Daripada suntuk, saya pun ganti baju dan memakai sepatu. Tidak lupa kardigan, topi, dan masker. Agak repot memang kalau mau bepergian sekarang ini.

Hari cerah dan matahari bersinar seperti pukul tiga. Padahal, jarum panjang menunjukkan pukul lima. Selama berjalan kaki, rasanya seperti berebut ruang dengan para pengendara di jalanan. Rute ke kedai kopi incaran saya tidak ada trotoar.

Sekitar lima belas menit, saya sampai tujuan. Kedai kopi itu berada di kompleks niaga dengan banyak penjaja minuman dan makanan lainnya serta sebuah taman tersembunyi di bagian belakang. Toko kopi sedang sepi. Sepasang suami istri usia 40-an hendak pergi ketika saya datang, di atas ada tiga orang remaja. Di luar dekat bar, hanya ada dua orang. Saya memesan dan minum es kopi susu gula aren segar tersebut di kursi yang menghadap jalan. Area ini kosong, hanya ada saya dan buku yang saya bawa. Kendaraan lalu lalang menjadi pemandangan saya setelah kursi dan meja kosong serta pepohonan rindang di antaranya. Baru saja membuka halaman buku, terdengar hingar bingar musik dangdut. Meski sudah memakai earphone, musik tersebut masih terdengar jelas. Rombongan orkes dador atau dangdut dorong sedang melintas. Ah, pantas saja. 

Saya membiarkan mereka berlalu. Helai dedaunan bergerak-gerak tertiup angin sore. Langit tampak masih biru. Satu dua orang melintas menuju taman. Semua memakai masker. Ini kali pertama saya minum kopi langsung di kedai kopi di tahun ini. Biasanya saat sebelum pandemi, saya ke tempat ini selalu memilih area dalam untuk menghindari asap rokok. Kali ini, berbeda. Sengaja memilih area terbuka yang untungnya sedang sepi pengunjung. 

Saya begitu menikmati membaca kisah kasih monyet bernama O yang dikisahkan oleh Eka Kurniawan. Beberapa lembar terlewati tanpa terasa, hari kian meredup. Saya hendak pulang, namun memutuskan untuk melihat sisi lain di area ini sebentar. Meskipun sudah beberapa kali ke kedai kopi ini, berkeliling ke area lain malah saya belum pernah. Penasaran juga. 

Ada yang menjual tanaman. Makanan Jepang. Minuman campuran susu. Kebab, burger, sampai tahu krispi. Bangunan niaga ini kurang lebih membentuk setengah lingkaran yang mengelilingi sebuah taman kecil. Taman dengan rerumputan hijau beserta beberapa pohon yang di sisi sebrang bangunan. Tampak sebidang tanah yang lebih tinggi dengan sebuah ayunan dengan rangka besi warna merah yang terlihat kokoh. Warna yang membuatnya mencolok di tengah ruang terbuka hijau. Dua kursi ayunan kosong. Saya melihat sekeliling hanya ada dua orang lawan jenis sedang berbincang di taman dan lainnya sedang menikmati makanan atau minuman dari dalam kedai-kedai makanan. 

Ingin hati rasanya main di ayunan tersebut. Agak ragu karena malu dilihat banyak orang, tetapi di sisi lain nggak ada yang kenal saya juga ya di sana? Lagi pula, saya juga pakai masker dan topi. Aman. Tidak ada salahnya bermain ayunan. Nggak cuma anak kecil yang bisa bermain-main dengan ayunan. 

Saya berpikir-pikir kenapa saya ragu untuk mencoba. Ternyata, karena di taman dekat tempat tinggal saja ada ayunan dan beberapa permainan lain yang dikhususkan untuk anak-anak. Padahal, jika sedang mampir ke sana saat berkeliling kompleks, saya ingin sekali mencobanya. 

Akhirnya, saya bisa main ayunan yang mungkin boleh diduduki orang dewasa. Di sekeliling taman tidak ada permainan anak-anak lainnya. Jadi, saya pun memberanikan diri duduk dan pelan-pelan mengayun-ayunkan dirimasih dengan perasaan malu-malu dan takut. Hahaha. Cupu sekali saya ini!

Saya bermain ayunan beberapa menit sembari mendengarkan lagu-lagu dari ponsel. Rasanya nyaman sekali. Pikiran saya melambung ke hari-hari semasa kanak-kanak. Bermain dengan riang gembira tanpa banyak rasa khawatir. Tanpa cemas berlebihan. Benar-benar memetik hari—carpe diem. Perasaan yang sepertinya jarang untuk bisa dirasakan sewaktu dewasa kini. Kebanyakan memikirkan yang lalu dan nanti, dan lupa menikmati yang benar-benar sedang terjadi.

Hari semakin gelap dan saya butuh waktu sekitar lima belas menit untuk kembali ke tempat tinggal. Maksud hati mau berlama-lama, namun hari sudah terlalu sore. Mungkin, kali lain datang ke sini bisa lebih siang sehingga sehabis minum kopi bisa lanjut main ayunan lebih lama lagi.