Friday, January 29, 2021

Alasan untuk Tetap Hidup dari Matt Haig


 
Apakah hidup perlu alasan?

Matt Haig mencoba menjawabnya lewat karya Reasons to Stay Alive atau jika diterjemahkan sebagai Alasan untuk Tetap Hidup. Sebuah buku dengan deskripsi "Kisah Nyata Melawan Depresi dan Berdamai dengan Diri Sendiri". 

Ada pernyataan menarik dari penulis mengenai depresi yang sulit dipahami oleh banyak orang karena gejalanya yang samar, tak nyata seperti penyakit fisik yang terlihat dan mudah dideteksi. Pada sebuah halaman di pertengahan buku ia menulis: 

"Sulit menjelaskan depresi kepada orang-orang yang belum pernah mengalaminya.
Rasanya seperti menjelaskan kehidupan di bumi kepada makhluk asing. Tidak ada yang bisa dijadikan titik acuan. Anda terpaksa menggunakan perumpamaan.
Bagai terjebak di terowongan.
Bagai berada di dasar laut.
Bagai terbakar." (hal. 134). 

Buku ini terdiri dari lima bab, yaitu 1) Jatuh, 2) Mendarat, 3) Bangkit, 4) Menjalani Hidup, dan 5) Menjadi Bagian dari Kehidupan. Dalam setiap bab terpecah menjadi tulisan-tulisan pendek yang mudah dibaca, namun berat untuk diresapi. Terlebih jika beberapa bagiannya pernah dialami. 

Membaca bab awal buku ini seperti diajak berjalan-jalan dalam lorong gelap. Langkah yang pelan sekaligus waspada sembari memicingkan mata. Nyala cahaya hanya dari sebuah lilin kecil yang temaram.

Pengalaman kelam diceritakan dengan rinci. Hal-hal yang mungkin bagi orang "normal" dianggap biasa, namun bagi penderita depresi adalah sebuah hal yang butuh keberanian besar. Matt Haig menceritakan bagaimana perjuangannya berbelanja ke sebuah toko dekat rumah. Aktivitas yang sederhana untuk banyak orang tanpa perlu banyak pemikiran. Sementara itu, ia harus berjibaku dengan kecamuk perasaannya saat harus ke luar rumah, dengan ketakutan-ketakutan akan hal-hal buruk yang akan terjadi, kecemasan-kecemasan yang sulit untuk ia atasi pada waktu itu. 

Jumlah penanda yang saya sematkan di buku ini berjumlah tiga puluh. Menjadi buku dengan penanda terbanyak sejauh ini dari buku-buku yang pernah saya baca. Banyak hal-hal yang relevan dan reflektif. Saya terpukau dengan bagaimana Matt Haig menjelaskan depresi dengan cara yang terbilang sederhana. Dengan kata-kata yang sering dipakai, ia menggambarkan kompleksitas penyakit mental ini selapis demi selapis. Pandangan masyarakat yang sering salah kaprah terhadap kondisi ini ia coba luruskan. Beberapa kali ia mengutip data, hasil penelitian, atau tokoh-tokoh untuk mendukung argumentasinya tersebut. 

"Depresi itu misterius, bahkan bagi para penderitanya." (hal 17)

Akan tetapi, depresi juga punya gejala. Andai saja kita tahu lebih awal daftar gejala-gejala depresi, mungkin kita akan lebih mudah mengenalinya. Sayangnya tidak. Gejala depresi sering dianggap hal biasa yang bisa berlalu begitu saja atau dengan menanamkan "pikiran positif" dan hal-hal "motivasional". Ketika tidak ditangani dengan tepat atau malah jauh terlambat, maka akan menyimpan bara yang sewaktu-waktu bisa terbakar hebat. Lebih lanjut di bagian tengah buku ia menjelaskan: 

"Depresi itu penyakit. Tapi, depresi tidak diawali dengan gejala gatal atau batuk-batuk. Depresi sulit terdeteksi karena tidak kasatmata. Meskipun depresi merupakan penyakit serius, cukup sulit bagi penderita untuk mengenali gejala awalnya. Bukan karena depresi itu tidak terasa--tapi karena perasaan tidak enak itu terlalu dikenali, atau biasanya bercampur aduk dengan hal-hal lain." (hal. 94)

Selanjutnya, ia menyebutkan beberapa gejala yang sering muncul pada penderita depresi, seperti kelelahan dalam jangka waktu yang lama tanpa alasan yang jelas, konsep diri yang buruk, "kelambanan psikomotorik", kehilangan selera makan, mudah marah, sering sekali menangis, tiba-tiba menutup diri, dan anhedonia. Istilah yang terakhir rasanya sangat dekat sekali dengan saya. Sering saya rasakan tanpa mengetahui apa namanya. Dipaparkan bahwa anhedonia adalah gejala utama depresi dengan ketidakmampuan total untuk merasakan senang saat melakukan apa saja. Berat rasanya menuliskan hal ini. 

Di halaman lainnya, Matt Haig mengatakan bahwa: 

"Orang bilang kegilaan adalah respons logis untuk dunia yang gila. Mungkin depresi hanyalah respons kehidupan yang tidak benar-benar kita pahami. Tentu saja, tidak ada seorang pun yang benar-benar memahami kehidupannya. Depresi sangat mengganggu karena membuat kita tidak bisa berhenti memikirkan kehidupan. Depresi mengubah kita semua menjadi pemikir. Tanya saja Abraham Lincoln." (hal. 173) 

Alasan-alasan untuk hidup yang ia kemukakan berjumlah sepuluh, tiga di antaranya terngiang-ngiang di kepala saya, yaitu nomor 6, 8, dan bagian akhir nomor 10. 

"6. Benak kita memiliki sistem cuaca sendiri. Anda berada di tengan angin topan. Angin topan juga lama-lama akan kehabisan energi. Bertahanlah.

8. Tidak ada yang berlangsung selamanya. Penderitaan ini tidak menetap. Penderitaan berkata ia akan menetap. Itu bohong. Abaikan saja. Penderitaan adalah utang yang akan dibayar dengan waktu. 

10. ... Mungkin Anda akan terperangkap sebentar di sini, tapi dunia tidak akan ke mana-mana. Bertahanlah kalau Anda bisa. Hidup ini selalu layak dipertahankan." (hal. 121-122)." 

Bisa bertahan sejauh ini adalah sebuah pencapaian. Sehari demi sehari adalah sebuah perjuangan tersendiri.

Kalau kamu, apa yang menjadi alasan untuk tetap hidup?