Sunday, June 6, 2021

Membaca Imperfect

 “Menulis buku ini membuatku harus membuka kembali banyak luka. Tetapi dengan mengakui luka, aku jadi bisa belajar bagaimana mengatasinya. Juga belajar menjadi lebih kuat lagi.” –Meira Anastasia (Imperfect, 2018)

Ini kalimat di bagian belakang buku berjudul Imperfect karya Meira Anastasia. Meira yang merupakan istri dari seorang public figure bernama Ernest Prakasa sering kali mendapat rundungan daring dari warganet terkait rupa dan fisiknya. Tampaknya, warganet menghakimi bagaimana seharusnya pasangan  yang ideal untuk Ernest, yang konon katanya rupawan, sementara itu penampilan Meira yang dianggap “tidak ideal” menjadi amunisi untuk jari-jari bersenjata netizen yang dilepaskan ke kolom-kolom komentar media sosial.

Sebagai orang yang sering kali mendapat rundungan atas apa yang dapat dilihat dari diri, seperti bagian wajah dan postur tubuh, kalimat yang ditulis Meira seakan-akan menyadarkan saya. Luka atas rundungan tersebut perlu untuk dibuka, meski rasanya akan perih dan sakit, untuk kemudian mengatasinya dan menjadi lebih kuat. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membeli buku ini.

Terlahir sebagai bayi besar dan bertumbuh menjadi apa yang orang-orang bilang bongsor. Berpostur gemuk dan tinggi. Beberapa lainnya bilang gendut atau chubby. Anak-anak yang gendut dan chubby mungkin masih diasosiasikan dengan anak yang sehat dan lucu, sementara saat beranjak remaja konotasi kedua kata ini menjadi negatif. Menjadi rundungan yang selalu terngiang-ngiang di kepala. Kalimat-kalimat basa-basi atau memang sengaja dilontarkan, seperti “Kok gemukan?”, “Tambah gendut ya sekarang?”, “Anak cewek kok gendut banget deh?”, “Gemuk gini gimana bisa dapet pacar?”, “Gendut sih makanya jomlo kan sampe sekarang!” dll. Jleb! Rasanya bingung, marah, kesal, sakit hati, stres, campur aduk banget kalau ada orang yang ngomong seperti itu. Entah sanak saudara dekat maupun jauh (dari sepupu sampe om dan tante), teman, bahkan orang asing.

Apalagi jika masih remaja dulu belum diajarkan bagaimana menerima diri sendiri dengan baik, bagaimana merespon omongan orang yang sebenarnya nggak penting-penting amat dan nggak perlu dipikiran juga dimasukkan ke dalam hati, hingga kampanye-kampanye body positivity pada masa itu belum sebanyak sekarang. Tentu omongan negatif seperti itu bertumpuk dan bertumbuh jadi duri dendam yang melukai hati dan pikiran. Omongan seperti ini tidak hilang oleh waktu, ia hanya terpendam saja. Jika sewaktu-waktu ada hal-hal yang memicunya naik ke permukaan, duri-duri tajam itu kembali menghujam hari-hari yang harusnya sudah baik-baik saja. Mungkin, ini yang disebut bagaimana trauma bekerja.  

Efek lainnya adalah menyalahkan diri sendiri atas tubuh yang enggak ideal dan mulai cari-cari cara untuk menurunkan berat badan (yang malah suka bikin badan sakit karena asal-asalan). Setiap menimbang berat badan selalu insecure angkanya naik, lihat kaca enggak bisa lama-lama karena malu sama diri sendiri, enggak percaya diri tampil di kesempatan dan acara apa pun, bersosialisasi dengan teman pun rasanya ragu-ragu enggak akan diterima karena bentuk tubuh yang berbeda, dan berbagai dampak psikis lainnya. Parahnya, sering kali muncul perasaan tidak pantas. Ini yang bikin rundungan sangat beracun alias toxic!

Konstruksi sosial di mana seorang perempuan harus cantik dan langsing menjadi beban dan tuntutan bagi perempuan-perempuan yang tidak memilikinya. Kondisi setiap orang berbeda-beda, baik perempuan maupun laki-laki, dan tidak semestinya dikonstrusikan, dihakimi atau “dipaksakan” sesuai dengan apa yang katanya “ideal”. Kita enggak pernah tahu apa yang menjadi latar belakang seseorang memiliki bentuk tubuh seperti apa. Tidak hanya bentuk tubuh, begitu juga dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Intinya, kurang-kurangi judge orang hanya dari tampilan luarnya.

Buku dengan sub-judul A Journey to Self-Acceptance ini menceritakan perjalanan seorang ibu beranak dua ini berjibaku dengan komentar-komentar warga di dunia maya maupun di dunia nyata yang kerap membuatnya insecure. Menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, Meira membeberkan dengan rinci bagaimana ia menghadapi semua itu. Cukup ringan sehingga mudah dipahami. Dilengkapi dengan ilustrasi menarik bergaya sketsa yang mendukung penggambaran tiap tema tulisan sehingga pembaca tidak bosan dengan rangkaian teks. Buku berjumlah 172 halaman ini tidak hanya menceritakan perjalanan Meira mengatasi luka, namun terdapat bonus stiker berisi kutipan-kutipan dan panduan berolahraga yang dapat dilakukan di rumah.

Berikut beberapa kutipan yang menarik dari buku ini:

“Kadang-kadang, kita memang harus jatuh dulu untuk bisa bangkit, berdiri, dan berlari lebih jauh lagi." (hal. 38)

“Intinya: apa pun yang dikatakan atau dilakukan orang kepada kita, jangan terlalu dimasukkan ke hati.” (hal. 39) 
“Ubah insekyur jadi bersyukur.” (hal. 92) 
“Think it over but don’t over think it.” (hal. 102) 
“Ternyata, mengakui dan menerima ketidaksempurnaan malah bisa menjadi obat ampuh, daripada berusaha menyembunyikannya. Ternyata, aku bisa berkembang setelah menerima ketidaksempurnaanku karena aku tahu aku tidak sempurna, dan itu tidak apa-apa, hidup tetap berjalan seperti biasanya.” (hal. 128)

Buku dengan format hardcover warna peach ini bisa mencerahkan siapa pun yang membutuhkan inspirasi untuk menerima kondisi diri di tengan tuntutan netizen dan konstruksi sosial yang telah ada selama ini. Dari buku ini, dapat dipetik pelajaran bahwa semua hal butuh proses, seperti proses menerima dan proses memperbaiki diri. Proses juga butuh waktu dan pengorbanan yang mudah-mudahan memberikan hasil sesuai harapan.

Oh iya, sebagai informasi tambahan, buku ini telah diadaptasi menjadi film berjudul Imperfect: Karier , Cinta, dan Timbangan yang rilis 19 Desember 2019 lalu. Kini, film yang berhasil menarik perhatian 2,6 juta penonton bioskop sudah tersedia di Netflix.  


Informasi buku

Judul: Imperfect

Penulis: Meira Anastasia

Tahun terbit: 2018

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Desain sampul & ilustrasi isi: Janji Studio

Editor: Wedha Stratesti & Claudia Von Nasution

Fotografer: Rahadyan Kukuh

34 comments:

  1. Kata basa basi seperti diatas rasanya sdah mesti ditinggalkan. Sudah ga sesuai dengan perkembangan zaman. Dan netizen sebaiknya mesti lebih bijak kalau main sosmed.

    Sudah nonton filmnya, tapi malah belum baca bukunya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, Kak! Pelan-pelan semoga kebiasaan basa-basi itu ditinggalkan ya. Diganti jadi basa-basi yang lebih positif dan membangun.

      Coba ditonton filmnya! Lumayan seru.

      Delete
  2. Hehe.. semua ada sisi enak dan sisi ga enaknya sendiri-sendiri ya..
    Kalo cantik, ada sisi ga enaknya kayak yang dibahas di buku Cantik itu Luka yang bikin gw inget sama kisah Jugun Ianfu di Indonesia..
    Kalo sebaliknya, persis kayak yang dituangin di buku ini..

    Buku yang bagus karena menguatkan dan memotivasi..

    Nice sharing!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya semua kondisi itu serba salah deh di mata masyarakat / netizen. Ada aja celah untuk jadi bahan bullying. Tinggal gimana aja merespon itu.

      Bukunya cukup memberikan insight-insight menarik. Makasi sudah mampir ya, Kak!

      Delete
  3. Buku yang bagus ya kak, dari baca reviewnya aja udah kebayang. Aku pun pernah ngerasa insecure karena omongan orang lain, apalagi pas jerawatan parah. Tanpa sadar omongan-omongan negatif ini bikin kita berpikiran buruk dan kurang bersyukur atau malah jadi motivasi untuk lebih baik lagi, alhamdulillahnya saat udah dewasa gini udah mulai bodo amat sama omongan-omongan nggak penting. Ya walaupun nggak bisa dipungkiri pasti ada aja yang kepikiran, tapi akan lebih baik kalau dibuang dan dilupakan aja

    ReplyDelete
  4. saya bisa pastikan kalau buku ini sangat menarik, terlebih film nya memang sangat bagus & inspiratif. Sosok seperti Dika memang sangat diperlukan di Dunia Nyata

    ReplyDelete
  5. Pernah baca dimana gitu kalau Imperfect adalah kisah dari penulisnya sendiri. Tips paling ampuh memang dengan mengubah insekyur jadi bersyukur.

    ReplyDelete
  6. Cantik salah, jelek salah... Salah semua kalau dari warganet mah... Wong Nabi saja dirundung apalagi kita kita :)

    ReplyDelete
  7. Aku follow aku IG nya Meira Anastasia, cuma gak beli bukunya...di IG sering dia posting beberapa komen yang aku sbg netijen pun kadang suka kesel dan heran ama netijen lain...tapi ya itulah kita enggak bisa ngatur tangan netijen. Walau gak baca bukunya aku nonton filmnya, terus ost nya juga keren.

    ReplyDelete
  8. Wah aku harus banget baca buku ini nih, sebagai orang yang hampir selalu insekyur sama bentuk badan. Thanks kak rekomendasi bukunya.

    ReplyDelete
  9. Setelah baca tulisan kak Maria, sebelum comment - saya searching sang penulis 'imperfect' coba memahami apa yang dia alami. Suatu hal yang juga dialami sebagian dari kita. Pembedanya, mungkin... Bagaimana kita menghadapinya. Respond pertama bahkan respond selanjutnya bahkan berulang. Terluka? Sering kali. Namun bukan hal mudah mengharapkan orang lain berhenti melakukannya demi menjaga harkat diri kita. Kita yang mesti kuat berdiri di atas luka, dan tidak melakukan hal yang sama ke orang lain. Dear kak Maria, terimakasih untuk sharing inspiring nya ya.

    ReplyDelete
  10. Ini issue yang lagi update banget, belom lagi sekarang kata-kata bully tuh wajar banget kalo dibungkus sama kata "jangan baper lah!" Hahahaha... jadi pembenaran orang buat ngomong soal kekurangan orang lain, en tanpa disadari dampaknya luar biasa merusak. Hehehe... Saya pernah nonton filmnya, tapi sayangnya ga sampe habis karena kok aga ngebosenin yah (buat saya). Tapi pesan soal bullynya, saya sih setuju sama Mba Meiranya.

    ReplyDelete
  11. aku tuh langsung kebayang juga sama kutipan Nietze, what doesn't kill you make you stronger, and indeed! aku sendiri ngerasain gimana rasanya luka-luka dan jatuh bangunnya perasaan karena dikhianati etc daaann, yaudah i am still alive, wiser, stronger now

    ReplyDelete
  12. buku yang bagus...memang ya omongan orang tuh beneran bisa jadi toxic. Bagus Meira menuangkan insecurity-nya ke dalam sebuah buku, jadi bisa menginspirasi dan memotivasi orang lain.
    Masalah nyinyiran memang menyakitkan, kadang datang dari orang terdekat yang harusnya malah menyemangati kita, tapi zonk, mereka kadang memperparahnya

    ReplyDelete
  13. Body shamming di Indonesia ini udah jadi hal wajar, umum, kayak nggak ada yang salah gitu. Mereka menyakiti hati orang dengan kata yang menurut mereka basa-basi. That's why aku nggak pernah basa-basi ngomongin fisik.

    Dan sekarang anakku juga kena body shamming, bukan karena gendut, tp karena dia hitam. Ya ampun, sebagai ibunya aja aku marah. Apalagi dia kalau udah dewasa nanti. Makanya, aku pengin kalo dia udah agak gede nanti, baca buku ini. Bersikap bodo amat sama omongan orang yang toxic itu perlu banget!

    ReplyDelete
  14. Kutipan-kutipannya sering aku baca nih kak, inspiratif dan membangun.
    Yuk Netizen sekarang lebih bijak lagi pakai jari-jarinya untuk comment yang paling tidak itu tidak menyakiti hati orang lain. Karena impactnya buat orang lain ternyata besar.

    ReplyDelete
  15. Jujurly aku belum pernah baca bukunya, tapi aku sudah nonton filmnya dan messagenya sampe banget.

    Bahasan tentang insecure ini sejatinya pasti semua orang pernah insecure ga sih 😆

    ReplyDelete
  16. Inget banget pas gue nonton filmnya, besoknya gue langsung niat pengen kurus dan perbaikin penampilan. Tapi sekedar niat aja hahaha. Kayaknya kudu beli bukune

    ReplyDelete
  17. Baca review nya sepertinya menarik banget nih buat dibaca. Apalagi temanya perundungan. Suka bingung juga sih sama netizen garis keras, sampai segitunya menilai seseorang padahal mereka ga dapat apa2 dari hal kayak gini. Atau memang habbit nya yang mereka suka merundungi orang.

    ReplyDelete
  18. suliidd emang jadi selebritas, resiko pekerjaan untuk di publikasi sereceh apapun kondisinya.

    berjuang merubah insecure jadi syukur memang perjalanan yan gtidak mudah apalagi jadi sorotan publik.

    bukunya seruuuu, filmnya jugak...

    ReplyDelete
  19. Belum baca bukunya tapi udah nonton filmnya, emang bagus si alur ceritanya dan inspirasi yang saya dapet tuh, gimana caranya kita bisa bersyukur sama diri sendiri.

    ReplyDelete
  20. Bagus-bagus sekali kutipannya. Suka banget dengan kutipan "ubah insecure jadi bersyukur". Dalam banget itu.

    ReplyDelete
  21. Aku nonton filmnya aja sudah se-jbel itu, konon lagi kalau baca bukunya pasti seru banget deh

    ReplyDelete
  22. Hidup kita yang jalanin tapi orang lain yang ngeribetin, aku belum pernah baca bukunya.. Ketika buku ini di filmkan, ternyata emg bagus banget alur ceritanya. Karena banyak pelajaran yang bisa dipetik, salah satunya tentang cara menghargai seseorang tidak hanya dari fisik

    ReplyDelete
  23. Aku udah nonton filmnya. Tapi belum baca bukunya haha. Kadang tuh emg ya komen netizen bikin sakit hati, tapi tergantung mindset kita gimana nanggapinnya. Punya mindset postif penting banget biar gak tenggelam sama komen orang yg gak tahu apa yg sudah dilalui oleh diri ini ya

    ReplyDelete
  24. Aku belum baca bukunya malah. Baru film sama seriesnya.
    Ada yang bilang agak berbeda ya versi buku dan filmnya. Tapi aku suka sama inti dari ceritanya. Dan suka sama salah satu quoteny. Ubah insekyur jadi bersyukur. Keren.

    ReplyDelete
  25. Aku cukup relate sama hal-hal yang ditulis diatas, karena dulunya aku jg pernah di bully. Proses buat menerima diri sendiri seutuhnya itu emang bukan hal yg gampang sih. Walaupun kita tauu cantik itu engga melulu tentang fisik tapi tetep ajaa rasanya insecure kalau fisik kita gak sesuai sama standar kecantikan di mata masyarakat.

    ReplyDelete
  26. Wah kutipan bukunya bagus2. Belum baca bukunya sih. Tapi udah nonton filmnya. Bohong kalo omongan yang direpetisi nggak mempengaruhi. Apalagi kalo yang diomongin kurang bagus. Lama2 bisa bikin overthinking.

    ReplyDelete
  27. Zaman sekarang mah, baik diomongin buruk, apalgi buruk beneran huftt serba salah maa netizen mah. Bagus ya bukunya

    ReplyDelete
  28. wah keren2 quotesnya dari buku ini. relate bgt

    ReplyDelete
  29. Cerita yang ada di buku ini bener2 relate sama yang ada di dunia sekarang yaa. Orang terbiasa banget dengan mudahnya berkomentar yang nyakitin. Dan dengan adanya cerita ini ya aku yakin juga bertujuan untuk ngurang-ngurangin budaya blak-blak an yg ngyebelin wkwk jd emoziy zendiri hehehe

    ReplyDelete
  30. Bagus sekali dan memang sangat dibutuhkan sekali sih menurutku buku-buku seperti imperfect ini. Tentang loveself first also accept ourself with unconditional love, nampaknya memang menjadi sebuah topik yang saat ini sudah semakin familiar. Dari dulu hingga kini pun kita memerlukan topik itu untuk menyembuhkan dan menghadapi luka. Setiap kita pasti memiliki luka hati, luka jiwa kita masing2, dan lalu bagaimana cara kita menghadapinya kemudian adalah hal yang sangat fundamental untuk kebaikan dan kebahagiaan serta kesehatan mental diri kita sendiri.
    Terimakasih sudah mengulas dan membahas hal tersebut melalui review buku, tulisan kakak bagus, rapi, juga enak dibaca. Membuat aku jadi mau tahu lebih lanjut tentang bukunya, penulisnya hingga filmnya. Wah jadi menarik dan bikin semangat untuk terus mempelajari diri dan sekitar, menyembuhkan serta membahagiakan.

    ReplyDelete
  31. Ini bukunya mirip sama film imperfect yang sudah beredar bukan kak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Film yang beredar emang adaptasi dari buku ini. Sudah aku tulis di bagian akhir ya :)

      Delete