Wednesday, December 9, 2020

Inti

Sadari 
Kenali emosi  
Temukan masalah inti  
'Tuk cari solusi


Pertemuan dengan teman-teman yang usianya seangkatan memang memberikan kesan tersendiri. Nostalgia yang manis, canda tawa yang akrab, dan obrolan yang hangat. Akan tetapi, di balik itu semua ada alam bawah sadar yang menyesatkan ke sebuah labirin bernama inferioritas. 

Berbagi kabar terbaru kehidupan kami masing-masing. Setiap orang dengan ceritanya, dengan jalan hidupnya. Ada yang sudah berpasangan, ada yang akan menikah, ada yang masih sendiri. Ada yang jalan karirnya mulus, ada yang masih meniti pelan-pelan dan pasti, ada yang masih bimbang mau berkarir sebagai apa dan di mana. Ada yang gajinya dua digit, ada yang sudah punya kendaraan pribadi, ada yang sudah berinvestasi, ada yang tidak punya semuanya. 

Dari semua yang disebutkan, bagian akhir kalimat selalu menjadi bagian saya. Mendengar kabar mereka sudah sampai titik tersebut, selain senang muncul rasa sedih. Saya merasa ada di belakang.

Saya pikir sedih itu hanya berlangsung sesaat ketika obrolan berlangsung. 

Dua hari berlalu dari pertemuan tersebut. Perasaan itu masih menggantung dan bercampur dengan kecemasan yang lain. Hari-hari setelah pertemuan terasa berat dan sangat mengganggu. Saya kira ini rasa cemas karena kami bertemu di tengah pandemi begini. Kami memakai masker dan membukanya saat makan dan minum. Meski sudah mematuhi protokol, kuatir tetap ada. Awalnya, saya pikir kekuatiran berlebih dan mengganggu diakibatkan oleh hal tersebut. Ditambah dengan tumpukan pekerjaan yang belum kunjung diselesaikan.

Banyak cara saya lakukan agar lebih tenang. Saya mencoba dengan mandi air hangat, menonton tayangan yang jenaka, mendengar lagu-lagu bernuansa ceria, melakukan praktik teknik pernafasan, mengubah perspektif berpikir hingga butterfly hug. Mood membaik sementara saja, efeknya begitu singkat. Setelah beberapa menit, dada masih berdebar tak karuan. Susah fokus. Pikiran semrawut seperti benang kusut. 

Saya memutuskan untuk melakukan yoga berdasarkan tutorial di Youtube. Video tutorial untuk pemula dengan tujuan mengurangi kecemasan dan depresi ini sudah beberapa kali saya coba. Biasanya, cukup mudah. Tiga puluh menit mulus tanpa jeda. Kali ini terasa begitu berat. Beberapa kali saya berhenti untuk istirahat sebentar. 

Emosi-emosi mengalir sepanjang latihan. Di tengah-tengah, sebuah kesadaran muncul. Saya berhenti cukup lama. Mencoba menelaah kesadaran tersebut, melakukan dialog dengan diri sendiri, berproses untuk memperbaiki apa yang telah mengganggu beberapa hari ini. 

Ternyata yang alasan dominan bukan pandemi atau pekerjaan, melainkan rasa inferior. Pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi tanpa mau memahami konteks. Pertanyaan yang saya buat sendiri, bahkan bukan datang dari teman-teman saya. Mempertanyakan kenapa saya masih sendiri, gaji masih segini, dan karir yang belum jelas juntrungannya. 

Saya kemudian teringat kembali bahwa setiap orang punya lintasan waktunya masing-masing. Hal ini yang sering saya lupakan. Membandingkan kondisi hidup tidak akan ada ujungnya. Apalagi jika membandingkan dengan menengok ke atas. Terlalu banyak menengadah hanya akan bikin lelah. 

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Di mana dan bagaimana ia lahir dan tumbuh, akan menentukan kehidupannya kelak. Bagaimana kemudian ia berproses, melalui fase yang berbeda-beda. Pengalaman dan pengambilan-pengambilan keputusan setiap kita juga berbeda, bagaimana bisa ingin hasil yang kurang lebih sama? Kenapa harus sama atau "sesuai standar" (standar yang mana)?  

Saat narasi dan pertanyaan ini mencuat, rasa "berat" perlahan-lahan menghilang. Saya melanjutkan yoga sampai selesai. Ada perasaan lebih tenang dan lega. Seketika saya terlelap sehabis latihan. Terbangun dengan perasaan yang lebih baik dan lebih ringan.