Friday, July 17, 2020

Caturwulan

"Anak-anak sekolah memasuki caturwulan yang baru."
Teks seperti ini mungkin sudah jarang mengemuka dua dekade belakangan.
Saat ini, teks yang beredar adalah:
"Anak-anak sekolah memasuki semester yang baru."
Semester yang benar-benar baru.
Sekolah dari rumah karena musibah wabah yang melanda dunia.

Ada banyak yang terjadi selama satu caturwulan belakangan. Pandemi mengubah semua. Bahkan, kehidupan saya yang biasanya datar-datar saja tanpa dinamika yang berarti, empat bulan ini terbilang memiliki fluktuasi yang tak pernah terduga sebelumnya.

Hal-hal yang terjadi dengan saya dan sekitar saya selama pandemi:
  1. Kamar sewa yang telah tiga tahun saya tempati, untuk pertama kalinya, kebanjiran. Air memenuhi kamar dengan tinggi semata kaki orang dewasa. Semua barang yang di lantai basah. Membutuhkan waktu sehari untuk membersihkan ruangan, tetapi butuh seminggu lebih untuk mencuci dan mengeringkan barang-barang.
  2. Kalang kabut mencari kamar sewa yang baru karena selalu cemas setiap hujan datang.  
  3. Penjual makanan di ujung jalan tempat tinggal dikabarkan berpulang karena kena wabah.
  4. Kecemasan meningkat berkali-kali lipat karena tragedi-tragedi tersebut yang berakibat pada semakin giat mencari hunian yang baru.
  5. Ibu saya terpeleset di gang depan rumah dan tangannya patah. Beberapa waktu setelahnya, ayah saya demam. Saya khawatir, tetapi situasi tidak memungkinkan untuk ke rumah.  
  6. Kesulitan mendapat hunian baru yang sesuai ekspektasi. Kegelisahan saya enggan pergi. Sembari mencari yang pas, saya sempat menyewa kamar sementara di dekat kantor. Upaya ini dilakukan agar tidak terus terbebani oleh pikiran yang merongrong jika tetap tinggal di tempat yang lama. Hanya membawa beberapa barang penting saja.
  7. Mulai merawat tanaman hias dengan media tanam air. Kebetulan, kamar sewa saya yang lama memiliki banyak tanaman hias sehingga saya izin kepada pemilik untuk meminta beberapa bibitnya. Aktivitas ini cukup efektif mengurangi ketegangan.
  8. Saat sedang mencicipi granola yang campurannya terdiri dari kacang mete dan/atau almon, mendadak saya sesak nafas untuk beberapa waktu. Sepertinya, ada perubahan pada reaksi tubuh saat mengonsumsi salah satu jenis kacang tersebut. Sebelum-sebelumnya, tidak pernah alergi memakan kacang-kacang tersebut. Sempat dirundung resah karena gejala yang muncul menyerupai gejala penyakit yang berkembang di situasi seperti ini.
  9. Radius mobilitas saya hanya sekitar lima kilometer sejak pandemi. Berkisar pada tempat tinggal, swalayan, dan tempat kerja. Selain kolega kantor, saya tidak pernah bertemu dengan kawan maupun keluarga.
  10. Akhirnya, saya benar-benar pindah tempat tinggal menjadi lebih dekat dengan kantor. Proses pindahan menggunakan jasa angkut yang dipesan lewat aplikasi berlangsung tidak sampai dua jam. Padahal, berkemas semua barang sendirian memakan waktu berhari-hari. Sangat menguras emosi dan fisik sekaligus.
  11. Bunga yang bertahun-tahun saya ketahui berjenis lily, ternyata jenis sebenarnya adalah amarilis, berbunga dengan cantiknya di halaman kamar saya. Memberikan makna baru pada hari-hari yang pelik ini. Insiden berkembangnya bunga ini terbilang langka karena terakhir mekar sekitar dua tahun yang lalu.
Kejadian-kejadian ini membuat emosi saya bergejolak. Marah bergolak tanpa henti. Risau yang tak kunjung pergi. Sedih merundung hari. Ketakutan mencengkeram seperti cakar harimau lapar mengoyak mangsa. Sementara, bahagia hanya datang sesekali untuk merangkul dan memberi kehangatan di tengah musim yang mencekam.

Ada saat di mana saya mencuci tangan terlalu sering sampai lapisan kulit menjadi kering. Ada saat di mana keresahan berlebihan meliputi sampai tidak berkenan bertemu dengan siapapun. Ada saat di mana saya benar-benar sulit mengendalikannya, makan pun jadi kurang berselera, apalagi menjalani kewajiban kerja. Ada saat di mana saya membutuhkan waktu berjam-jam untuk dapat tertidur dengan nyenyak. Ada saat di mana saya bangun dengan kepala yang berat, berat untuk memulai hari.  Ada saat di mana saya hampir menyerah dengan diri saya sendiri.

Inilah nasib hidup berkawan kesepian di rimba ibukota yang tengah paceklik. Mustahil sepertinya mengandalkan teman dengan kondisi yang sama-sama sedang sukar. Hubungan yang terjalin kadang hanya berupa kerja-kerja formal sehingga sungkan untuk meminta bantuan. Atau mungkin saja, saya yang sebenarnya tak punya apa yang orang-orang sebut sebagai teman?

Melihat kembali di sendiri pada saat ini, masih dapat merangkai kata-kata ini, saya cukup bangga dengan diri saya yang sedapat mungkin telah bersusah payah, berjibaku, dan jungkir balik mengelola emosi sehingga masih bertahan dalam melewati hari-hari di tengah pandemi.  

Mungkin, yang bisa dilakukan ya bertahan dari hari ke hari. Mencemaskan masa depan dengan kekhawatiran berlebihan hanya akan mencederai detik-detik yang berharga. Detik-detik yang selayaknya dipetik dengan cermat untuk kemudian kita satukan dalam satuan waktu bernama hari. Carpe diem.

Vaksin terus diuji coba dengan berlapis tahapan
Entah butuh berapa caturwulan sampai benar-benar siap diedarkan
Sementara menunggu, yang kita bisa lakukan adalah sebaik-baiknya bertahan
Semoga umat manusia masih bisa menggantungkan harapan pada keajaiban

Sunday, July 12, 2020

Jalan Kaki

Saat pandemi, sebuah aktivitas yang biasa berubah jadi teramat berat untuk dimulai
Sekadar berjalan kaki, bahkan membutuhkan pertimbangan berhari-hari

Saya sering berjalan kaki saat ingin membeli suatu barang, berangkat ke kedai kopi, atau sepulangnya dari sana. Biasanya, sengaja saya lakukan di sore hari.

Berjalan kaki memberi kesenangan tersendiri. Apalagi jika dilakukan saat petang dengan semilir angin yang sejuk berbalut langit yang teduh. Kalau beruntung, kita bisa menyaksikan semburat oranye menghiasi cakrawala dengan begitu indah sembari mendengarkan musik kesukaan yang mengalun di telinga.

Aktivitas warga di sore hari memancarkan aura yang lebih positif daripada kegiatan di pagi hari, yang seringnya tergesa-gesa, atau siang hari yang identik dengan terik yang memantik emosi.
 
Kebiasaan berjalan kaki ini sirna sejak pandemi. Ketakutan mencengkeram sehingga mengurung saya untuk tidak berlama-lama berada di luar rumah. Padahal, saya hampir setiap minggu saya menyempatkan diri berjalan kaki sekitar satu jam dan bisa mencapai dua jam jika dibarengi dengan berbelanja banyak keperluan.

Sejak pandemi, saya berada di luar rumah hanya dalam perjalanan menuju ke kantor yang menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit saja. Kantor saya memberikan fasilitas jemput-antar pegawai untuk menjaga keamanan dan kesehatan bersama. Kantor saya memiliki protokol yang cukup ketat sehingga rasanya aman berada di tempat kerja. Saat harus berbelanja, saya akan minta mampir sebentar sewaktu perjalanan berangkat atau pulang kerja. Pernah sesekali mencoba berbelanja di swalayan dekat tempat tinggal saya yang lama, yang jaraknya sekitar lima menit berjalan kaki, setiap langkah terasa berat dan mencekam.

Tepat satu caturwulan, saya tidak berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh dan rentang waktu yang cukup lama. Dalam periode tersebut, saya pindah tempat tinggal dan telah menempatinya sekitar 1,5 bulan. Jarak tempat tinggal dan kantor lebih dekat sehingga sangat bisa dicapai dengan bersepeda atau berjalan kaki. Saya juga menghentikan fasilitas jemput-antar kantor agar bisa melakukan aktivitas menyehatkan tersebut.

Saya pernah coba mengayuh sepeda ke tempat kerja. Jalur menuju kantor yang searah mengharuskan saya melewati pasar yang ramai. Setiap melewati pasar yang ramai akan manusia dan kendaraan, jantung saya berdegup kencang. Takut-takut kalau ada yang tiba-tiba batuk atau bersin di dekat saya. Meski sudah menggunakan helm sepeda dan masker, rasa cemas itu tetap menghantui. Untuk mengatasi hal tersebut, saya akhirnya menggunakan jasa transportasi roda empat yang dipesan lewat aplikasi. Memang biayanya jadi mahal, tetapi hati saya lebih tenang. Bersepeda ke kantor akhirnya hanya satu atau dua kali dalam seminggu.

Setelah sebulan lebih bolak-balik mengeluarkan biaya sendiri untuk transportasi, hitung-hitung biayanya jadi terasa membebani. Saya mulai terpikir untuk berjalan kaki. Jika berjalan kaki, bisa lawan arah dari jalur yang biasa sehingga tidak perlu melewati hiruk pikuk pasar. Mau dimulai sejak awal Juli, hanya saja niat ini selalu diganggu oleh ragu-ragu. Takut ini dan takut itu. Bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu.

Sempat terbersit keinginan untuk membeli pelindung wajah terlebih dahulu supaya pikiran dan hati lebih sentosa. Setelah menimbang-nimbang, saya menampik keinginan tersebut. Ada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol di jalanan. Jika terus memikirkan hal negatif terus, saya tidak akan memulai prosesi berjalan kaki ini. Kegiatan yang dulu bisa sesuka hati saya lakukan, kapan saja dan di mana saja, sekarang harus dipikirkan matang-matang seperti ingin bertempur ke medan perang.

Kamis lalu sepulang kerja, saya hendak meluncurkan niat berjalan kaki. Hari sudah gelap dan saya memakai sepatu sandal yang kurang nyaman untuk berjalan jauh. Kebetulan sekali, rekan kerja saya yang searah menawarkan tumpangan. Niat berjalan kaki pun tertunda.

Esoknya, saya lebih bersiap dan memberanikan diri. Sepatu kets merah yang sudah empat bulan menganggur, kini bisa terpakai. Sepatu yang nyaman, membuat kaki tidak cepat lelah. Saya memakai baju lengan panjang yang memiliki tudung kepala, ditambah topi hitam, celana panjang, dan pastinya masker. Hand sanitizer disimpan di saku tas yang mudah dijangkau.

Saya berangkat agak siang menjelang Jumatan. Langit teduh dan matahari bersinar ramah. Saya memasang peranti dengar di telinga dan menyetel musik favorit untuk menemani sepanjang perjalanan. Rute menuju kantor terbilang sepi. Sesekali saya berpapasan dengan orang lain, masih takut sebenarnya akan hal ini. Namun, kondisi yang sepi cukup menguntungkan karena saya bisa dengan mudah mengatur jarak dengan orang lain.

Sebelum sampai masjid dekat kantor, saya melihat sebuah tenda kecil dengan dua orang di tepi jalan. Ada bapak-bapak sedang membagi-bagikan makanan. Seorang diantaranya memegang sebuah kertas bertuliskan "OJEG", seorang lainnya bersiap dengan plastik berisi sekotak makan siang. Sebuah angkot mendekati kedua orang tersebut. Sopir angkot disambut senyuman yang tulus dan dengan sigap disuguhkan makanan tersebut. Tidak lama kemudian, datang pengemudi ojek online, keduanya melakukan hal yang sama. Saat saya melewati tenda tersebut, saya kaget karena mereka menawarkan makan siang tersebut kepada saya. Saya menolak dengan halus dan melanjutkan perjalanan.

Seketika saya teringat aktivitas membagikan makanan di pinggir jalan yang ramai di awal pandemi. Beberapa kali saya lihat langsung, saat proses pembagian makanan selalu ada bagian dokumentasi yang sibuk mengabadikan kegiatan tersebut. Mungkin, hal itu dilakukan sebagai laporan kegiatan atau ada tujuan lainnya.

Melihat kedua bapak ini membagikan makanan dengan tulus, hati saya langsung terenyuh. Tak ada petugas dokumentasi yang merekam kebaikan mereka, namun ada banyak saksi yang bahagia melihat kebaikan ini, apalagi yang berkesempatan menerimanya. Masih ada orang-orang yang melakukan hal baik tanpa pamrih.

Aksi berjalan kaki berlangsung hampir setengah jam, terbilang lancar dan cukup berkeringat. Haus menjalar di kerongkongan. Setelah meletakkan tas, saya langsung ambil gelas untuk melepas dahaga. Efek lama tak berolahraga membuat kaki terasa pegal, tetapi tak apa, namanya juga baru pertama setelah berbulan-bulan.

Melalui aktivitas berjalan kaki ini, saya jadi belajar bahwa cemas jangan dijadikan penghalang untuk melakukan sesuatu, tetapi ia bisa diatasi dengan melakukan persiapan yang baik dan tetap waspada. Saya bahagia bisa menghempaskan rasa cemas berlebihan ini dan menghadapinya dengan baik.

Friday, July 10, 2020

Transaksi

Kadang, hubungan saudara hanya sebuah predikat
Bukan sebuah koneksi yang terhubung erat

Rasa kesal dan kecewa menggantung beberapa hari belakangan. Sebuah komunikasi, dengan tujuan transaksi dengan salah satu saudara yang berniaga, sukses membuat saya meradang.

Ia adalah salah satu saudara dari keluarga besar. Kami sebaya dan sama-sama perempuan sehingga cukup dekat semasa sekolah karena tinggal dalam satu wilayah. Beda kota saat berkuliah membuat kami agak jauh. Akan tetapi, komunikasi kami biasanya hangat. Saling bertukar kabar dan bercerita tentang banyak hal saat ada kesempatan berbincang, baik di dunia nyata maupun dunia maya. 

Sekarang, ia sudah menikah dan punya anak. Sudah cukup lama berjualan apa saja secara daring. Kebanyakan perabotan rumah tangga. Baru-baru ini, ia mulai menjual produk perawatan wajah.

Sejak ada fitur story di WhatsApp, saya jadi sering melihat statusnya yang kebanyakan promosi produk-produk yang dijual. Penghujung tahun lalu, saya berminat pada barang yang dipasarkan, panci antilengket dan aksesori telepon genggam. Responnya masih ramah dan cukup baik. Saya hanya membeli barang yang pertama karena yang kedua stoknya sedang habis.

Beberapa bulan setelah itu, saya berminat lagi pada pengeras suara portabel. Iklannya menunjukkan sebuah merk terkenal dengan harga cukup miring. Saya pun memastikan produk tersebut ternyata merk yang dijual berbeda dengan yang diiklankan. Saya akhirnya tidak jadi beli.

Ada suatu hal dari dirinya yang menyebabkan hubungan kami kian renggang. Di suatu waktu di tahun ini, ia dengan lancang memasukan saya ke grup WhatsApp keluarga besar. Sesuatu yang amat saya hindari sejak dulu. Ia memicu amarah saya karena tidak bertanya dahulu apakah saya mau bergabung atau tidak di kelompok percakapan daring tersebut. Segera saya keluar sebelum banyak yang menyadari saya masuk di sana. Langsung saya sampaikan betapa sebalnya saya akan hal ini lalu dia minta maaf.

Hubungan saudara, saya pikir, wajar jika ada perselisihan. Pada akhirnya, akan kembali lagi karena mau tidak mau suatu saat akan bertemu entah kapan dan entah dalam acara keluarga seperti apa.

Sebaran wabah yang tak kunjung mereda mendorong saya untuk menjaga diri dan keluarga. Kebetulan sekali, ia menjual pelindung wajah dengan model yang saya incar. Sehari setelah ia mempromosikan produknya, saya bilang bahwa saya berminat. Sesaat menjelang makan siang, saya menanyakan stok barang tersebut dan apakah bisa diantar langsung ke rumah keluarga saya. Rumahnya dan rumah keluarga saya bisa dibilang berdekatan. Namun, ia mengatakan kalau harus membawa anaknya yang masih kecil, ia tidak berani. Baiklah, pakai jasa antar ojek daring saja.

Saya menduga ketika sudah membicarakan proses pengiriman, barang sudah siap diantar. Eh ternyata, dia masih belum bisa memastikan barangnya ada atau tidak. Informasi terkait stok barang tersebut baru akan ada sore harinya. Baiklah, akan saya tunggu.

Sore harinya, ia mengabarkan bahwa stok barang tersebut habis dan menawarkan barang serupa dengan model yang berbeda. Saya tidak suka dengan model yang ia tawarkan. Namun, dia agak memaksa untuk membeli model tersebut dan malah bikin saya makin sebal. Saya bersikukuh hanya mau membeli model yang saya inginkan. Dengan masih beritikad baik, saya minta dikabari jika model yang saya mau sudah ada stoknya.

Esok paginya, ia menelepon dan mengirim pesan. Kemudian, ia menelepon sekali lagi. Saya dalam keadaan sedang senewen karena kamar sewa saya harus diperbaiki saluran airnya secara mendadak sepagi itu tanpa pemberitahuan sebelumnya. Pihak pengelola kamar sewa juga melakukan aksi gedor-gedor pintu yang sangat mengganggu kenyamanan. Mungkin, ia menghubungi di saat yang tidak tepat juga. Saya mengabaikan teleponnya dan baru membalas pesannya setengah jam kemudian, memberitahukan bahwa saya sudah membeli barang tersebut dari orang lain.

Sesaat setelah ia mengabarkan stok barang habis dan memaksa membeli model lain, saya segera tersadar sesuatu. Biasanya, ketika hendak membeli suatu barang di toko dan barangnya habis, penjual akan meminta maaf terlebih dahulu kepada calon pembeli dan baru kemudian menawarkan alternatif yang lain. Sementara, saudara saya ini tidak meminta maaf sama sekali, yang ada malah memaksa. Setelah kejadian sore itu, saya menelusuri percakapan terkait transaksi-transaksi kami berbulan-bulan sebelumnya. Saya mendapati ia tidak pernah minta maaf saat stok barang yang saya inginkan sedang habis, ia juga tidak minta maaf karena saya telah menunggu lama.

Benar memang apa yang tertulis di kutipan-kutipan yang beredar, yang sulit itu mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih. Kata maaf berada di urutan pertama, mungkin karena kata itu menjadi kata dengan tingkat kesulitan tertinggi untuk diucapkan. 

Responnya yang demikian membuat saya kapok berbelanja barang-barang jualannya. Selain itu, saya mengingat panci antilengket yang pernah saya beli darinya, baru beberapa kali dipakai sudah rusak permukaannya. Bagaimana saya tidak semakin kecewa?

Malam setelah percakapan tersebut berlangsung, saya bergegas mencari barang serupa di sebuah lokapasar daring. Menelusuri rupa-rupa model pelindung wajah sembari membaca ulasan para pembeli, saya menemukan sebuah toko yang terpercaya. Langsung saya beli dua untuk bapak dan ibu di rumah. Gratis ongkos kirim ditambah harganya juga lebih murah. Selang dua hari, ibu saya mengabari kalau barang sudah sampai di kediaman. Praktis tanpa harus melewati percakapan bertele-tele dan menjengkelkan.

Jika kejadian dengannya terjadi di lokapasar daring, mungkin saya sudah mencak-mencak di kolom ulasan penjual dan memberikan bintang satu. Yang bisa saya lakukan hanya menumpahkan keluh kesah belasan alinea, mencapai 700-an kata, di halaman ini.

Setidaknya, hati saya sekarang sudah lebih plong!

Tuesday, July 7, 2020

Tania

Burung boleh berkicau merdu
Angin dan daun berpadu mencipta bunyi yang syahdu
Namun, jika tiada tawa anak gadis itu, semua terasa kelabu

Sekitar sebulan, saya menempati kamar sewa yang baru. Kamarnya cukup besar sehingga beberapa kamar ditempati oleh pasangan dan keluarga muda dengan anak-anak kecil yang sedang gemas-gemasnya.

Sebelah kanan kamar saya, ditinggali oleh keluarga muda dengan dua anak. Satu anak laki-laki berusia antara 4-5 tahun yang sepertinya menjadi si kakak dan si adik yang kira-kira berusia tiga tahun. Terdengar oleh saya bahwa si adik dipanggil dengan nama Tania. Sementara itu, si kakak jarang tersebut namanya. Lebih sering dipanggil dengan sebutan "Kakak" saja.

Kamar kami yang bersebelahan membuat telinga saya menangkap celoteh anak-anak saat mereka meminta sesuatu ke orang tuanya. Ada yang minta makan, minta uang jajan, atau meminta mainan.

Setiap bangun pagi dan sepulang kerja, suara kedua anak ini beserta teman-teman sebayanya menjadi pengisi hari-hari saya yang sunyi. Adapun suara yang dihasilkan dari kamar saya hanya bersumber dari gawai yang memutar lagu atau siniar. Senang rasanya mendengar ada derap langkah balita-balita ini yang terasa begitu ringan sekaligus riang. Tanpa beban. Tanpa terpikirkan cicilan dan masa depan.

Pernah beberapa kali saat saya sedang merawat tanaman, Tania yang kebetulan lewat memperhatikan saya. Saya pun tersenyum kepadanya. Dia membalas dengan senyum tipis. Ingin rasanya berkenalan, tapi saya mengurungkan niat itu. Dikarenakan barang-barang di kamar belum tertata dengan rapi. Saya takut nantinya ia akan sering main ke kamar saya yang masih berantakan. Selain malu, saya khawatir kamar semakin porak poranda.  

Tetangga kecil berambut hitam dengan poni dan berkulit putih bersih seolah ragu sewaktu ingin melangkah di depan kamar saya. Tania sering tampak bingung melihat tetangga barunya ini berkutat dengan tanaman hias di depan kamar. Mungkin, dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang dilakukan manusia ini yang dari tadi hanya mengangkat pot-pot tanaman sambil sesekali berbicara sendiri.

Belum genap sebulan saya bermukim di sini, pekik riang anak-anak ini tidak lagi terdengar. Ada kemungkinan mereka sedang menginap di rumah neneknya yang beberapa kali datang berkunjung. Nenek mereka pernah mengajak ngobrol ketika awal-awal saya pindahan. Ibu paruh baya ini yang memulai duluan dan selanjutnya menjelaskan perihal kamar sewa tanpa diminta.

Di depan kamar tetangga beranak dua ini, biasanya diparkir sepeda roda tiga. Atau beberapa mainan warna-warni yang saya tak ingat betul nama dan bentuknya. Ada yang mencurigakan. Sepeda maupun mainan itu tidak bertengger lagi di sana.

Berhari-hari kamar sebelah hening. Kamar-kamar lainnya memang sejak awal tidak terlalu terdengar aktivitasnya di luar pintu. Berbeda dengan kakak beradik yang hobi bolak-balik di lorong. Melangkah dengan ceria, berteriak dengan lantang, atau merengek jika kemauannya tak dituruti. Kadang-kadang, terdengar suara ibu mereka yang menegur apabila salah satu dari anak-anaknya ada yang berulah. Suara-suara itu kini lenyap berubah jadi senyap.

Selang seminggu dari keheningan itu, saya mendapati kamar mereka terbuka lebar. Lengang. Tiada penghuni. Tiada perlengkapan rumah tangga. Hanya ada perkakas fasilitas kamar sewa seperti kasur dan lemari yang tertinggal. Benar firasat saya selama ini. Mereka pindah. Entah ke mana.

Hari-hari saya kembali berkawan sepi.

Sunday, July 5, 2020

Visitasi

Bagaimana rasanya berbulan-bulan melewati jalur yang sama?
Bagaimana rasanya berbulan-bulan hanya ada tiga tempat yang selalu dikunjungi?
Bagaimana rasanya berbulan-bulan menjalani ritme hidup yang begitu-begitu saja?

Sejak Maret, tingkat kewaspadaan meningkat beribu-ribu kali lipat. Kecemasan menggerogoti hari-hari, menghisap jam tidur, menguras energi. Perlahan-lahan kecemasan menurun, namun tetap dalam mode siaga. Tetap memakai masker, tetap mencuci tangan sehabis memegang apapun, tetap mengantongi botol hand sanitizer, tetap menjaga jarak dengan orang lain, baik yang dikenal apalagi dengan orang asing.

Sejak negara tempat saya berpijak mengumumkan bahwa negeri ini dilanda pandemi, saya tidak berani ke mana-mana. Awalnya, bekerja juga dilakukan dari tempat sendiri. Akan tetapi, lama kelamaan kesendirian ini malah membuat dosis kekhawatiran kian meninggi. Kebetulan, kantor tempat saya bekerja memang memiliki sedikit karyawan dan kami bekerja di ruangan berbeda. Saya akhirnya ditawarkan untuk masuk kantor dengan mendapat fasilitas jemput antar untuk menjaga keamanan dan kesehatan bersama. Protokol kesehatan di kantor juga ketat, seperti wajib cuci tangan sebelum masuk kantor, setiap ada barang masuk disemprot disinfektan, uang kertas juga diperlakukan demikian, hand sanitizer di berbagai sudut, dan wajib pakai masker. Saya malah merasa aman berada di tempat kerja.

Tempat tinggal ke tempat kerja, dan dalam seminggu sekitar satu dua kali ke minimarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Beberapa minggu awal pandemi, saya selalu masak sendiri. Saya sampai tidak berani untuk memesan makanan lewat layanan aplikasi. Saya separanoid itu. Sekitar sebulan setelah mendapat masukan untuk mengecek lewat media sosial apakah tempat makan yang akan saya pesan melaksanakan protokol kesehatan, barulah saya berani memesan makanan dari restoran yang terpercaya. Saya sudah tidak pernah jajan di pinggir jalan.

Selama empat bulan ini, rute saya hanya tempat tinggal - tempat kerja - swalayan dengan radius kurang dari lima kilometer. Berulang terus seperti itu. Saya tidak berani naik kendaraan umum, tidak berani ke tempat teman apalagi ke tempat umum lainnya. Riwayat sakit pernafasan di masa lalu membuat saya rentan dan dicengkeram ketakutan.

Tempat saya bekerja memiliki kantor cabang yang berlokasi di Tangerang. Sejak pertama masuk kerja, saya belum pernah berkunjung ke sana. Padahal, jaraknya hanya berkisar tiga puluh menit saja dari kantor utama.

Jumat pekan lalu, saya berkesempatan melakukan visitasi. Perjalanan dilakukan dengan kendaraan roda dua. Meski memakai helm dan masker, saya masih bisa merasakan semilir angin yang sejuk di perjalanan. Melihat suasana baru yang berbeda dari pemandangan sehari-hari. Menyaksikan pedagang yang dengan sabar menunggu pelanggan, anak-anak kecil yang bermain sepeda dengan riang dan tawa, rimbunan pohon di sisi-sisi jalan, mengagumi aristektur hunian saat melewati sebuah kompleks villa, dan mengagumi langit biru lengkap dengan gumpalan awan putih yang mengiringi kami sepanjang perjalanan. Hati saya senang sekali bisa mengalami suasana yang berbeda dari biasanya.

Setiap detik perjalanan begitu saya resapi baik-baik. Sebuah perjalanan singkat di luar rutinitas harian saya. Memberikan nuansa baru di hati dan pikiran. Rasanya, seperti ke luar dari kepenatan yang menumpuk tidak karuan. Tidak menyangka dengan melakukan kunjungan kerja ini telah membuat saya bahagia. Mungkin, bahagia memang sesederhana ini.

Saturday, July 4, 2020

Ikan Cakalang

Nasi putih mengepulkan asap
Bertabur ikan cakalang berbumbu pedas
Disantap untuk makan siang di hari yang cerah

Ikan cakalang berbumbu pedas, yang menurut deskripsi penjual, disajikan dengan resep khas Manado. Saya beli satu toples kecil ukuran 200 gram di lokapasar daring kemarin malam. Dijemput kurir cepat ke tempat penjual hingga tiba di kantor sebelum makan siang. Pas sekali.

Kamis kemarin saya menyantap suwiran cakalang dengan nasi panas. Katanya bumbu pedas, sayangnya tak terasa seperti deskripsi. Rempahnya juga tidak dapat saya identifikasi. Akan tetapi, rasa ikan cakalang memang punya ciri khas yang kuat. Ada sensasi rasa asin laut saat saya daging ikan mendarat di lidah saya. Rasa asin yang berbeda dengan rasa asin garam yang biasa saya cicipi sehari-hari. Tekstur daging juga lembut dan mudah hancur sehingga tak perlu bersusah payah mengunyah.

Beberapa bulan belakangan, saya lebih banyak makan makanan kering, olahan daging ayam maupun daging sapi. Adapun makan hasil laut hanya teri medan, yang kadang berbumbu dan bertekstur tidak sesuai ekspektasi.  

Rasa dan tekstur daging ikan cakalang seketika membuat saya terhenyak, ia mengingatkan saya akan laut. Memori-memori seputar laut terputar di layar pikiran. Selama menyantap makan siang, saya mengingat-ingat kenangan saat berada di kapal di tengah lautan.. Entah dengan kapal besar bermesin canggih sampai perahu kayu yang muat tak lebih dari sepuluh orang. Rekaman ingatan bergulir ketika makan ikan laut segar di pesisir pantai, yang kesegarannya memberikan sedikit rasa manis di setiap sobekan daging ikan. Saya menyetel ulang kenangan tatkala bersantai di tepian pantai, bermain pasir sembari menikmati semilir angin laut, beratapkan langit biru.. Burung camar laut berterbangan. Desir ombak yang menyentuh lembut kulit kaki dengan cangkang kerang yang berserakkan di sekitarnya.

Kenangan-kenangan yang indah bermunculan tanpa tertahankan. Saat hari-hari ini, kita semua sulit berpergian dengan bebas akibat pandemi, meski katanya beberapa lokasi sudah dibuka lagi dengan berderet regulasi. Yang bisa kita lakukan, mungkin hanya mengenang hari-hari indah saat berada dekat dengan alam.. Dan rasa ikan cakalang dengan mudahnya menggiring memori berharga tersebut lewat rasa dan teksturnya yang berciri khas istimewa. Sungguh sebuah rasa sederhana berhasil mengguggah nostalgia tiada tara.

Friday, July 3, 2020

Hi, How Are You Today

Setiap habis mandi, ngaca gini...
"Hi, how are you today?
Are you okay?"
Lebih gitu sih pertanyaannya.

Sebuah penggalan jawaban dari Nicholas Saputra dalam sebuah wawancara daring yang diakhiri dengan senyum dan tawa yang malu-malu. Sebuah jawaban yang di dalamnya tersimpan pertanyaan.

Saya yang beberapa waktu tadi mendengarkan wawancara tersebut, seketika terhenyak dengan pertanyaannya yang tersirat. Saya kemudian mempertanyakan kepada diri sendiri, apakah saya sudah bertanya demikian ke diri saya hari ini?

Setiap habis mandi yang ada saya begitu tergesa-gesa bergegas ke tempat kerja. Padahal, jaraknya dekat. Tak perlu buru-buru. Sehabis bangun dari tidur yang saya pertanyakan adalah apa yang harus saya selesaikan atau setidaknya apa yang harus saya kerjakan hari ini. Momen pagi saya berlalu begitu saja. Begitu juga dengan sisa hari yang berlanjut seperti biasa--kerja, makan siang, sesekali mengecek media sosial, kembali kerja lalu pulang.

Apakah saya baik-baik saja?
Saya alpa menanyakan ini kepada diri sendiri sampai sebuah penyakit menghampiri saya. Gejala awalnya cukup mengkhawatirkan karena kombinasi sakit kepala, sesak nafas, mual hingga akhirnya muntah. Di tengah wabah seperti ini, salah satu gejala tersebut merupakan sumber utama kecemasan semua orang. Sekitar dua hari kemudian, saya mencoba menganalisis ulang gejala-gejala tersebut dengan rentetan aktivitas saya beberapa waktu lalu belakangan seperti kebiasaan begadang dan pola makan yang berantakan. Tampaknya, saya penyakit lama saya kambuh. Maag. Gas lambung yang tinggi sepertinya mengakibatkan kesusahan bernafas. Saya pun minum obat maag, tidur lebih lama dari biasanya, memperbanyak asupan air putih, dan yang terpenting makan dengan pola yang teratur. Kondisi saya berangsur-angsur membaik. Gejala-gejala tersebut perlahan menghilang. Kecemasan sedikit banyak kian berkurang. 


Nicholas Saputra benar. Setiap hari kita harus bertanya kepada diri sendiri:
"Hi, how are you today?
Are you okay?"