Kata filosofi/filsafat selalu jadi momok yang menakutkan. Rasanya, kata ini mengandung kompleksitas yang selalu sulit untuk saya pahami. Bisa jadi akarnya adalah buku tentang dasar-dasar filsafat Yunani semasa SMA yang saya coba baca. Baru sampai halaman pertama, banyak sekali istilah yang tidak saya mengerti. Saya berusaha membaca sampai halaman ketiga dan tidak paham juga hingga akhirnya saya menyerah. Pada waktu itu, KBBI daring sepertinya belum ada. Buku fisik KBBI pun entah di mana karena di saat yang sama, perpustakaan sekolah saya sedang direnovasi. Ruang perpustakaan dialihkan sementara di sebuah ruangan kecil yang menyebabkan buku bertumpuk tak karuan.
Saya juga
punya pengalaman tersendiri dengan buku bertema self-help. Pernah saya membeli dan membaca sampai habis sebuah buku self-help bertema remaja, tetapi
entah kenapa tidak merasa buku tersebut bermanfaat buat saya. Setelah saya
pikir-pikir sekarang, kondisi sosial yang diceritakan penulis sepertinya
berbeda dengan kondisi saya pada waktu itu. Saya hanya seorang pelajar yang tumbuh di
wilayah pinggiran, bukan kelas menengah yang hidup di wilayah urban.
Dua
pengalaman itulah yang menjauhkan saya dari buku-buku bertema filsafat dan self-help. Saya lebih banyak berkutat di
buku-buku sastra dan topik-topik yang saya minati lainnya.
Belakangan,
isu-isu tentang mental health kian
merebak. Membaca buku self-help kian
wajar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun di mana punya masalah
kesehatan mental dianggap tabu, atau bahkan pengidapnya sering kali dianggap punya gangguan kejiwaan
serius.
Berangkat dari
situ, saya mulai tergerak untuk membaca artikel-artikel tentang kesehatan
mental dan di suatu waktu terpapar dengan buku karya Henry Manampiring ini.
Buku tersebut berjudul Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk
Mental Tangguh Masa Kini. Bersampul dominan warna putih dengan ilustrasi yang
terbilang jenaka untuk sebuah buku filsafat yang sering kali kaku dan serius. Ditambah nuansa warna kuning yang
segar berpadu dengan warna hijau toska di font
judul buku.
Judul dan
ilustrasi sampulnya memikat siapa saja yang awam terhadap filsafat, termasuk
saya. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membeli buku tersebut.
Di dunia
yang serba gegas ini, kecemasan-kecemasan tidak hanya semakin meningkat, tetapi
semakin bervariasi jenisnya. Perasaan insecure
dan anxiety seolah jadi makanan
sehari-hari. Jika tidak punya cukup bekal mental untuk menghadapinya,
berpotensi membuat kondisi kesehatan mental seseorang semakin terpuruk.
Membaca Filosofi Teras menyadarkan saya akan
banyak hal. Membedah hal-hal yang selama ini mengacaukan pikiran dalam 320 halaman
yang terdiri dari 12 bab. Menggunakan bahasa sederhana—bahkan bisa dibilang
bahasa percakapan sehari-hari, dan tentunya dilengkapi dengan ilustrasi dan
tata letak yang memikat. Membuat saya melahap buku ini dengan cepat dan sampai
harus memperlambat ritme baca agar bisa meresap dengan baik sari-sarinya.
Filosofi
Teras atau biasa disebut Stoisisme merupakan filsafat yang praktikal sehingga
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aliran filsafat ini diinisiasi
oleh Zeno, seorang pedagang kaya yang dari Siprus (sebuah pulau di Selatan
Turki) yang dalam perjalanannya mengalami nasib malang. Kapalnya karam dan
barang dagangannya musnah. Ia terdampar di Athena tanpa harta. Ia belajar filsafat dari
filsuf Crates dan berbagai filsuf lainnya. Selanjutnya, ia mengajar filosofinya
sendiri di sebuah teras berpilar, yang dalam bahasa Yunani disebut stoa, yang terletak di sisi utara dari agora (tempat publik yang digunakan
untuk berdagang dan berkumpul). (hal. 22)
Henry
Manampiring membagi dua tujuan utama yang ingin dicapai dari Stoisisme, yaitu:
- Hidup bebas dari emosi negatif dan mendapatkan hidup yang tenteram (tranquil). Ketenteraman ini hanya bisa diperoleh dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kita kendalikan.
- Hidup mengasah kebajikan (virtues). Berikut empat kebajikan utama menurut Stoisisme:
- Kebijaksanaan (wisdom): kemampuan mengambil keputusan terbaik di dalam situasi apa pun.
- Keadilan (justice): memperlakukan orang lain dengan adil dan jujur.
- Keberanian (courage): keberanian berbuat yang benar, berani berpegang pada prinsip yang benar.
- Menahan diri (temperance): disiplin, kesederhanaan, kepantasan, dan kontrol diri (atas nafsu dan emosi). (hal 24–25).
Apa ada yang sudah pernah membaca buku ini? Bagaimana pendapat kalian tentang buku ini?