Saturday, March 27, 2021

Membaca Filosofi Teras

Kata filosofi/filsafat selalu jadi momok yang menakutkan. Rasanya, kata ini mengandung kompleksitas yang selalu sulit untuk saya pahami. Bisa jadi akarnya adalah buku tentang dasar-dasar filsafat Yunani semasa SMA yang saya coba baca. Baru sampai halaman pertama, banyak sekali istilah yang tidak saya mengerti. Saya berusaha membaca sampai halaman ketiga dan tidak paham juga hingga akhirnya saya menyerah. Pada waktu itu, KBBI daring sepertinya belum ada. Buku fisik KBBI pun entah di mana karena di saat yang sama, perpustakaan sekolah saya sedang direnovasi. Ruang perpustakaan dialihkan sementara di sebuah ruangan kecil yang menyebabkan buku bertumpuk tak karuan.

Saya juga punya pengalaman tersendiri dengan buku bertema self-help. Pernah saya membeli dan membaca sampai habis sebuah buku self-help bertema remaja, tetapi entah kenapa tidak merasa buku tersebut bermanfaat buat saya. Setelah saya pikir-pikir sekarang, kondisi sosial yang diceritakan penulis sepertinya berbeda dengan kondisi saya pada waktu itu. Saya hanya seorang pelajar yang tumbuh di wilayah pinggiran, bukan kelas menengah yang hidup di wilayah urban.

Dua pengalaman itulah yang menjauhkan saya dari buku-buku bertema filsafat dan self-help. Saya lebih banyak berkutat di buku-buku sastra dan topik-topik yang saya minati lainnya.

Belakangan, isu-isu tentang mental health kian merebak. Membaca buku self-help kian wajar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun di mana punya masalah kesehatan mental dianggap tabu, atau bahkan pengidapnya sering kali dianggap punya gangguan kejiwaan serius.

Berangkat dari situ, saya mulai tergerak untuk membaca artikel-artikel tentang kesehatan mental dan di suatu waktu terpapar dengan buku karya Henry Manampiring ini. Buku tersebut berjudul Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini. Bersampul dominan warna putih dengan ilustrasi yang terbilang jenaka untuk sebuah buku filsafat yang sering kali kaku dan serius. Ditambah nuansa warna kuning yang segar berpadu dengan warna hijau toska di font judul buku.

Judul dan ilustrasi sampulnya memikat siapa saja yang awam terhadap filsafat, termasuk saya. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membeli buku tersebut.

Di dunia yang serba gegas ini, kecemasan-kecemasan tidak hanya semakin meningkat, tetapi semakin bervariasi jenisnya. Perasaan insecure dan anxiety seolah jadi makanan sehari-hari. Jika tidak punya cukup bekal mental untuk menghadapinya, berpotensi membuat kondisi kesehatan mental seseorang semakin terpuruk.

Membaca Filosofi Teras menyadarkan saya akan banyak hal. Membedah hal-hal yang selama ini mengacaukan pikiran dalam 320 halaman yang terdiri dari 12 bab. Menggunakan bahasa sederhana—bahkan bisa dibilang bahasa percakapan sehari-hari, dan tentunya dilengkapi dengan ilustrasi dan tata letak yang memikat. Membuat saya melahap buku ini dengan cepat dan sampai harus memperlambat ritme baca agar bisa meresap dengan baik sari-sarinya.

Filosofi Teras atau biasa disebut Stoisisme merupakan filsafat yang praktikal sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aliran filsafat ini diinisiasi oleh Zeno, seorang pedagang kaya yang dari Siprus (sebuah pulau di Selatan Turki) yang dalam perjalanannya mengalami nasib malang. Kapalnya karam dan barang dagangannya musnah. Ia terdampar di Athena tanpa harta. Ia belajar filsafat dari filsuf Crates dan berbagai filsuf lainnya. Selanjutnya, ia mengajar filosofinya sendiri di sebuah teras berpilar, yang dalam bahasa Yunani disebut stoa, yang terletak di sisi utara dari agora (tempat publik yang digunakan untuk berdagang dan berkumpul). (hal. 22)

Henry Manampiring membagi dua tujuan utama yang ingin dicapai dari Stoisisme, yaitu:

  1. Hidup bebas dari emosi negatif dan mendapatkan hidup yang tenteram (tranquil). Ketenteraman ini hanya bisa diperoleh dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kita kendalikan.
  2. Hidup mengasah kebajikan (virtues). Berikut empat kebajikan utama menurut Stoisisme:
    • Kebijaksanaan (wisdom): kemampuan mengambil keputusan terbaik di dalam situasi apa pun.
    • Keadilan (justice): memperlakukan orang lain dengan adil dan jujur.
    • Keberanian (courage): keberanian berbuat yang benar, berani berpegang pada prinsip yang benar.
    • Menahan diri (temperance): disiplin, kesederhanaan, kepantasan, dan kontrol diri (atas nafsu dan emosi). (hal 2425).
Bab-bab selanjutnya dalam buku ini membedah lebih detail fenomena-fenomena dalam kehidupan masa kini yang relevan dengan ajaran Stoic. Apa yang bisa kendalikan, bagaimana menyikapi, bagaimana memproses suatu peristiwa, bahkan memproses sebuah peristiwa yang menakutkan bagi umat manusia—kematian. Menarik bukan?

Buku Filosofi Teras ini telah memperluas cakrawala berpikir saya bahwa filsafat tidak melulu sesuatu yang kompleks dan buku self-help tidak selalu tidak akan relevan. Melalui buku ini, saya menjadi banyak belajar mengenal apa yang ada di dalam diri dan bagaimana merespon hal-hal yang terjadi dalam kehidupan.

Apa ada yang sudah pernah membaca buku ini? Bagaimana pendapat kalian tentang buku ini?