Monday, September 21, 2020

Tersadar oleh Sampar

DI ISTANA 

WALIKOTA PERTAMA: Yang Mulia, sampar menyebar sangat cepat sehingga kita tidak punya harapan untuk membasminya. Kontaminasi sudah sangat merebak dibanding yang diperkirakan; namun hamba menyarankan kiranya lebih bijaksana untuk membuat mereka tidak mempedulikannya. Bagaimanapun juga daerah-daerah terpencil  paling parah terkena dampaknya; daerah-daerah ini padat dan dihuni orang-orang miskin. Betapapun tragisnya keadaan ini, ini adalah sesuatu yang patut disyukuri. 

[Gumaman tanda setuju.]

- Albert Camus 

Baris-baris kalimat di atas merupakan cuplikan adegan dan dialog dari drama tiga babak berjudul Sampar. Dipentaskan pertama kali pada 27 Oktober 1948 di Thèâtre Marigny, Paris. L'état de Siège (State of Siege) adalah judul asli lakon yang ditulis oleh filsuf Albert Camus. 

Saya awalnya tidak tahu menahu bahwa buku ini berisi naskah drama. Nama Albert Camus yang sering muncul di beberapa artikel yang saya baca sebelum-sebelumnya membuat saya penasaran dengan tulisan asli beliau. Kebetulan sekali, ada kawan yang meminjamkan Sampar kepada saya sekitar setahun lalu, bersama belasan buku lainnya. Lebih dari sepuluh buku yang dipinjamkan telah saya baca sejak itu sampai sekitar Juli tahun ini. Entah mengapa, Sampar tidak termasuk di sepuluh nomor tersebut. Baru pada penghujung Juli, saya mulai melirik buku setebal 130 halaman ini. 

Pandemi masih berlangsung. Rumah sakit mulai kewalahan menerima pasien, pemakaman khusus korban wabah kian kehabisan lahan. Apa yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi ini? 

Semasa pandemi awal merebak, hari-hari terasa mencekam. Sekarang, setengah tahun berlalu. Waspada tetap ada, namun ketakutan perlahan-lahan mereda. Kemudian, membaca Sampar kembali membangkitkan hawa mencekam itu. 

Sampar menceritakan wabah yang menjangkiti warga Cádiz, Spanyol. Selain digambarkan sebagai sebuah penyakit mematikan yang memberikan tanda, penulis merepresentasikan Sampar sebagai manusia yang mengambil alih kekuasaan pemerintah. Mengubah tatanan masyarakat dengan kehendak yang telah direncanakannya. Menyingkirkan pihak-pihak yang menghalangi perubahan yang diinginkannya. 

Membaca buku ini seperti memutar ulang masa-masa awal wabah menyebar di negeri ini, bahkan di seluruh dunia. Sebuah pandemi yang kini masih harus kita hadapi. Saat membaca, kengerian akibat wabah sampar seolah terasa begitu dekat dan nyata. Respon dan kebijakan pemerintah dalam naskah yang entah bagaimana tampak serupa dengan kondisi saat ini. Sebuah kebetulan. 

Ada banyak adegan dan tuturan yang menampar dengan keras. Reflektif sekaligus satir. Menggedor kesadaran manusia yang carut marut terjangkiti ketakutan. Harapan akan keadaan kembali seperti sedia kala terasa begitu jauh dari kenyataan.

Perlu berjarak saat membaca buku ini supaya tidak terlalu terhanyut, apalagi di tengah pandemi seperti ini. Ia begitu gelap, dan jika tak membawa pelita pikiran yang jernih, berisiko tersesat dalam jalan-jalan yang suram dan muram.

 

Berikut beberapa kutipan pilihan dari buku ini: 

"HAKIM: Biarkan mereka, dan pikirkan saja rumah tangga. Tentang putramu, misalnya. Masukkan semua perbekalan yang dapat diperoleh, dan jangan pikirkan harganya. Kini, sudah saatnya untuk menimbun. Lakukan penimbunan!" (hal. 28) 

"DIEGO: Aku merasa seperti orang-orang, asing terhadap diriku sendiri. Selama ini, aku tidak pernah merasa takut terhadap manusia--namun apa yang terjadi sekarang terlalu besar bagiku. Bahkan kehormatan tidak dapat membantu; aku kehilangan pegangan atas segala sesuatu yang aku anut." (hal. 30)

"SEKRETARIS: Ini dimaksudkan untuk membiasakan mereka dengan sentuhan kekaburan yang memberikan daya tarik dan efektivitas bagi semua peraturan pemerintah. Semakin kurang paham rakyat, akan semakin baik tingkah laku mereka. Kamu paham?" (hal. 39)

"PADUAN SUARA: Penguasa kita dulu berjanji akan melindungi kita, namun sekarang kita ditelantarkan." (hal. 40)

"PADUAN SUARA PEREMPUAN: ... Penderitaan ini lebih berat dari yang dapat kami tanggung, kami hanya dapat menunggu penderitaan ini berakhir." (hal. 83)

"PADUAN SUARA: Ya, namun apakah harapan menunggu kita di ujung jalan? Atau haruskah kita mati karena putus asa di tengah perjalanan? 

DIEGO: Jangan lagi bicara tentang putus asa! Putus asa adalah sumbat. Dan hari ini guntur harapan dan kilat kebahagiaan memecahkan kebisuan kota yang terkurung ini. Berdirilah, kuminta kamu, dan bertindaklah seperti lelaki! Robeklah aktamu, pecahkan jendela-jendela kantor mereka, tinggalkan ketakutan, dan teriakkan kebebasan kalian ke empat arah angin surga!

PADUAN SUARA: Kami kehilangan hak milik rumah kami dan harapan adalah satu-satunya kekayaan kami--bagaimana kami bisa hidup tanpa harapan?" (hal. 96)


Judul: Sampar 

Penulis: Albert Camus

Penerjemah: Ahmad Asnawi

Penerbit: Narasi (bekerja sama dengan Pustaka Promethea)

9 comments:

  1. Jalan cerita dan latarnya mirip sekali dengan situasi dsan kondisi tanah air saat ini. Menarik!

    Tq sharingnya Kak Maria..

    (Deny Oey)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih. Bisa pas banget.
      Makasi udah mampir, Kak Deny!

      Delete
  2. Woww...relate banget sama kondisi sekarang ya kak...cuma beda penyakitnya aja. Agak serem sihh baca beginian di tengah2 pandemi sekarang, tp point positifnya kita jadi yakin kalau semua pasti bakal berlalu..thank for sharing kak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya relate banget. Dan emang bener lumayan serem, bikin muram juga mood ceritanya. Mungkin bisa nanti-nanti aja bacanya, Kak.

      Delete
  3. Wah, kok bisa pas banget ya bukunya dengan keadaan saat ini. Jadi penasaran sama bukunya, tapi kayaknya gak buat baca di waktu dekat sih, tunggu pandemi berakhir dulu. Takut terbawa suasana suramnya. Hiks... Semoga negeri ini lekas pulih seperti sedia kala. Amin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga heran kenapa bisa pas banget. Nggak sengaja milih buku pas lagi di tempat temen dan entah kenapa bacanya pas udah pandemi. Padahal, udah ada dari akhir tahun lalu.

      Iya betul, Kak Ning. Nanti-nanti aja bacanya. Aku sempet nggak disarankan untuk baca sama temenku yang lain. Sayangnya, dia ngasih tau pas udah sampe bab 2, nanggung banget kalo nggak diselesaikan.

      Amiin. Semoga negeri ini dan seluruh dunia lekas pulih kembali. Sehat-sehat ya untuk kita semua! :)

      Delete
  4. mba, pas opening tulisan blog ini tuh kaya udh auto merinding ya, membayangkan pandemi yang mematikan, sekilas ngebayangin film contagion juga, dan kepikiran juga sama pandemi covid-19 yang lagi melanda Indonesia.

    Pas pandemi ini aku ngerasain dan jadi aware kan gimana pandemi itu bisa menggerogoti atau mengganggu keseharian kita. Soalnya dulu pas ada wabah flu burung aku masih di kampung dan masih kecil, dan kayanya engga seheboh sekarang, jadi masih belum kebayang bahaya pandemi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emang nih. Ngeri-ngeri sedap pas awal-awal baca. Cuma emang perlu berjarak dan nggak terlalu hanyut. Kebetulan, sebelumnya aku baca Kenangan-Kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub. Ini buku yang bikin adem dan cukup tenang saat baca Sampar.

      Samaaa... Dulu pas flu burung juga aku masih kecil, jadi nggak terlalu inget kayak gimana. Ketika udah usia sekarang jadi lebih aware ya sama fenomena-fenomena seperti ini. Kita mau nggak mau untuk beradaptasi sama keadaan. Semoga lekas berakhir ya pandemi ini. Amin.

      Delete
  5. dari beberapa kutipan, jleb banget kutipan yang ini: "DIEGO: Aku merasa seperti orang-orang, asing terhadap diriku sendiri. Selama ini, aku tidak pernah merasa takut terhadap manusia--namun apa yang terjadi sekarang terlalu besar bagiku. Bahkan kehormatan tidak dapat membantu; aku kehilangan pegangan atas segala sesuatu yang aku anut." (hal. 30)

    ReplyDelete