Tuesday, July 7, 2020

Tania

Burung boleh berkicau merdu
Angin dan daun berpadu mencipta bunyi yang syahdu
Namun, jika tiada tawa anak gadis itu, semua terasa kelabu

Sekitar sebulan, saya menempati kamar sewa yang baru. Kamarnya cukup besar sehingga beberapa kamar ditempati oleh pasangan dan keluarga muda dengan anak-anak kecil yang sedang gemas-gemasnya.

Sebelah kanan kamar saya, ditinggali oleh keluarga muda dengan dua anak. Satu anak laki-laki berusia antara 4-5 tahun yang sepertinya menjadi si kakak dan si adik yang kira-kira berusia tiga tahun. Terdengar oleh saya bahwa si adik dipanggil dengan nama Tania. Sementara itu, si kakak jarang tersebut namanya. Lebih sering dipanggil dengan sebutan "Kakak" saja.

Kamar kami yang bersebelahan membuat telinga saya menangkap celoteh anak-anak saat mereka meminta sesuatu ke orang tuanya. Ada yang minta makan, minta uang jajan, atau meminta mainan.

Setiap bangun pagi dan sepulang kerja, suara kedua anak ini beserta teman-teman sebayanya menjadi pengisi hari-hari saya yang sunyi. Adapun suara yang dihasilkan dari kamar saya hanya bersumber dari gawai yang memutar lagu atau siniar. Senang rasanya mendengar ada derap langkah balita-balita ini yang terasa begitu ringan sekaligus riang. Tanpa beban. Tanpa terpikirkan cicilan dan masa depan.

Pernah beberapa kali saat saya sedang merawat tanaman, Tania yang kebetulan lewat memperhatikan saya. Saya pun tersenyum kepadanya. Dia membalas dengan senyum tipis. Ingin rasanya berkenalan, tapi saya mengurungkan niat itu. Dikarenakan barang-barang di kamar belum tertata dengan rapi. Saya takut nantinya ia akan sering main ke kamar saya yang masih berantakan. Selain malu, saya khawatir kamar semakin porak poranda.  

Tetangga kecil berambut hitam dengan poni dan berkulit putih bersih seolah ragu sewaktu ingin melangkah di depan kamar saya. Tania sering tampak bingung melihat tetangga barunya ini berkutat dengan tanaman hias di depan kamar. Mungkin, dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang dilakukan manusia ini yang dari tadi hanya mengangkat pot-pot tanaman sambil sesekali berbicara sendiri.

Belum genap sebulan saya bermukim di sini, pekik riang anak-anak ini tidak lagi terdengar. Ada kemungkinan mereka sedang menginap di rumah neneknya yang beberapa kali datang berkunjung. Nenek mereka pernah mengajak ngobrol ketika awal-awal saya pindahan. Ibu paruh baya ini yang memulai duluan dan selanjutnya menjelaskan perihal kamar sewa tanpa diminta.

Di depan kamar tetangga beranak dua ini, biasanya diparkir sepeda roda tiga. Atau beberapa mainan warna-warni yang saya tak ingat betul nama dan bentuknya. Ada yang mencurigakan. Sepeda maupun mainan itu tidak bertengger lagi di sana.

Berhari-hari kamar sebelah hening. Kamar-kamar lainnya memang sejak awal tidak terlalu terdengar aktivitasnya di luar pintu. Berbeda dengan kakak beradik yang hobi bolak-balik di lorong. Melangkah dengan ceria, berteriak dengan lantang, atau merengek jika kemauannya tak dituruti. Kadang-kadang, terdengar suara ibu mereka yang menegur apabila salah satu dari anak-anaknya ada yang berulah. Suara-suara itu kini lenyap berubah jadi senyap.

Selang seminggu dari keheningan itu, saya mendapati kamar mereka terbuka lebar. Lengang. Tiada penghuni. Tiada perlengkapan rumah tangga. Hanya ada perkakas fasilitas kamar sewa seperti kasur dan lemari yang tertinggal. Benar firasat saya selama ini. Mereka pindah. Entah ke mana.

Hari-hari saya kembali berkawan sepi.

4 comments:

  1. Duh, tulisan kamu bagusss banget kak, sampe ikutan senyum & ngrasain serunya denger celoteh kakak beradik itu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasi apresiasinya, Ning! Iya, mereka emang seru banget makanya aku kangen banget pas mereka pindah. Huhu.

      Delete
  2. Sederhana tapi aku suka tulisannya Kak Maria.
    Sayang tak sempat berkenalan dan bermain dengan Tania ya kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasi apresiasinya, Kak Antin!
      Iya nih, menyesalnya baru sekarang :(

      Delete