Sunday, July 12, 2020

Jalan Kaki

Saat pandemi, sebuah aktivitas yang biasa berubah jadi teramat berat untuk dimulai
Sekadar berjalan kaki, bahkan membutuhkan pertimbangan berhari-hari

Saya sering berjalan kaki saat ingin membeli suatu barang, berangkat ke kedai kopi, atau sepulangnya dari sana. Biasanya, sengaja saya lakukan di sore hari.

Berjalan kaki memberi kesenangan tersendiri. Apalagi jika dilakukan saat petang dengan semilir angin yang sejuk berbalut langit yang teduh. Kalau beruntung, kita bisa menyaksikan semburat oranye menghiasi cakrawala dengan begitu indah sembari mendengarkan musik kesukaan yang mengalun di telinga.

Aktivitas warga di sore hari memancarkan aura yang lebih positif daripada kegiatan di pagi hari, yang seringnya tergesa-gesa, atau siang hari yang identik dengan terik yang memantik emosi.
 
Kebiasaan berjalan kaki ini sirna sejak pandemi. Ketakutan mencengkeram sehingga mengurung saya untuk tidak berlama-lama berada di luar rumah. Padahal, saya hampir setiap minggu saya menyempatkan diri berjalan kaki sekitar satu jam dan bisa mencapai dua jam jika dibarengi dengan berbelanja banyak keperluan.

Sejak pandemi, saya berada di luar rumah hanya dalam perjalanan menuju ke kantor yang menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit saja. Kantor saya memberikan fasilitas jemput-antar pegawai untuk menjaga keamanan dan kesehatan bersama. Kantor saya memiliki protokol yang cukup ketat sehingga rasanya aman berada di tempat kerja. Saat harus berbelanja, saya akan minta mampir sebentar sewaktu perjalanan berangkat atau pulang kerja. Pernah sesekali mencoba berbelanja di swalayan dekat tempat tinggal saya yang lama, yang jaraknya sekitar lima menit berjalan kaki, setiap langkah terasa berat dan mencekam.

Tepat satu caturwulan, saya tidak berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh dan rentang waktu yang cukup lama. Dalam periode tersebut, saya pindah tempat tinggal dan telah menempatinya sekitar 1,5 bulan. Jarak tempat tinggal dan kantor lebih dekat sehingga sangat bisa dicapai dengan bersepeda atau berjalan kaki. Saya juga menghentikan fasilitas jemput-antar kantor agar bisa melakukan aktivitas menyehatkan tersebut.

Saya pernah coba mengayuh sepeda ke tempat kerja. Jalur menuju kantor yang searah mengharuskan saya melewati pasar yang ramai. Setiap melewati pasar yang ramai akan manusia dan kendaraan, jantung saya berdegup kencang. Takut-takut kalau ada yang tiba-tiba batuk atau bersin di dekat saya. Meski sudah menggunakan helm sepeda dan masker, rasa cemas itu tetap menghantui. Untuk mengatasi hal tersebut, saya akhirnya menggunakan jasa transportasi roda empat yang dipesan lewat aplikasi. Memang biayanya jadi mahal, tetapi hati saya lebih tenang. Bersepeda ke kantor akhirnya hanya satu atau dua kali dalam seminggu.

Setelah sebulan lebih bolak-balik mengeluarkan biaya sendiri untuk transportasi, hitung-hitung biayanya jadi terasa membebani. Saya mulai terpikir untuk berjalan kaki. Jika berjalan kaki, bisa lawan arah dari jalur yang biasa sehingga tidak perlu melewati hiruk pikuk pasar. Mau dimulai sejak awal Juli, hanya saja niat ini selalu diganggu oleh ragu-ragu. Takut ini dan takut itu. Bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu.

Sempat terbersit keinginan untuk membeli pelindung wajah terlebih dahulu supaya pikiran dan hati lebih sentosa. Setelah menimbang-nimbang, saya menampik keinginan tersebut. Ada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol di jalanan. Jika terus memikirkan hal negatif terus, saya tidak akan memulai prosesi berjalan kaki ini. Kegiatan yang dulu bisa sesuka hati saya lakukan, kapan saja dan di mana saja, sekarang harus dipikirkan matang-matang seperti ingin bertempur ke medan perang.

Kamis lalu sepulang kerja, saya hendak meluncurkan niat berjalan kaki. Hari sudah gelap dan saya memakai sepatu sandal yang kurang nyaman untuk berjalan jauh. Kebetulan sekali, rekan kerja saya yang searah menawarkan tumpangan. Niat berjalan kaki pun tertunda.

Esoknya, saya lebih bersiap dan memberanikan diri. Sepatu kets merah yang sudah empat bulan menganggur, kini bisa terpakai. Sepatu yang nyaman, membuat kaki tidak cepat lelah. Saya memakai baju lengan panjang yang memiliki tudung kepala, ditambah topi hitam, celana panjang, dan pastinya masker. Hand sanitizer disimpan di saku tas yang mudah dijangkau.

Saya berangkat agak siang menjelang Jumatan. Langit teduh dan matahari bersinar ramah. Saya memasang peranti dengar di telinga dan menyetel musik favorit untuk menemani sepanjang perjalanan. Rute menuju kantor terbilang sepi. Sesekali saya berpapasan dengan orang lain, masih takut sebenarnya akan hal ini. Namun, kondisi yang sepi cukup menguntungkan karena saya bisa dengan mudah mengatur jarak dengan orang lain.

Sebelum sampai masjid dekat kantor, saya melihat sebuah tenda kecil dengan dua orang di tepi jalan. Ada bapak-bapak sedang membagi-bagikan makanan. Seorang diantaranya memegang sebuah kertas bertuliskan "OJEG", seorang lainnya bersiap dengan plastik berisi sekotak makan siang. Sebuah angkot mendekati kedua orang tersebut. Sopir angkot disambut senyuman yang tulus dan dengan sigap disuguhkan makanan tersebut. Tidak lama kemudian, datang pengemudi ojek online, keduanya melakukan hal yang sama. Saat saya melewati tenda tersebut, saya kaget karena mereka menawarkan makan siang tersebut kepada saya. Saya menolak dengan halus dan melanjutkan perjalanan.

Seketika saya teringat aktivitas membagikan makanan di pinggir jalan yang ramai di awal pandemi. Beberapa kali saya lihat langsung, saat proses pembagian makanan selalu ada bagian dokumentasi yang sibuk mengabadikan kegiatan tersebut. Mungkin, hal itu dilakukan sebagai laporan kegiatan atau ada tujuan lainnya.

Melihat kedua bapak ini membagikan makanan dengan tulus, hati saya langsung terenyuh. Tak ada petugas dokumentasi yang merekam kebaikan mereka, namun ada banyak saksi yang bahagia melihat kebaikan ini, apalagi yang berkesempatan menerimanya. Masih ada orang-orang yang melakukan hal baik tanpa pamrih.

Aksi berjalan kaki berlangsung hampir setengah jam, terbilang lancar dan cukup berkeringat. Haus menjalar di kerongkongan. Setelah meletakkan tas, saya langsung ambil gelas untuk melepas dahaga. Efek lama tak berolahraga membuat kaki terasa pegal, tetapi tak apa, namanya juga baru pertama setelah berbulan-bulan.

Melalui aktivitas berjalan kaki ini, saya jadi belajar bahwa cemas jangan dijadikan penghalang untuk melakukan sesuatu, tetapi ia bisa diatasi dengan melakukan persiapan yang baik dan tetap waspada. Saya bahagia bisa menghempaskan rasa cemas berlebihan ini dan menghadapinya dengan baik.

0 comments:

Post a Comment