Friday, July 17, 2020

Caturwulan

"Anak-anak sekolah memasuki caturwulan yang baru."
Teks seperti ini mungkin sudah jarang mengemuka dua dekade belakangan.
Saat ini, teks yang beredar adalah:
"Anak-anak sekolah memasuki semester yang baru."
Semester yang benar-benar baru.
Sekolah dari rumah karena musibah wabah yang melanda dunia.

Ada banyak yang terjadi selama satu caturwulan belakangan. Pandemi mengubah semua. Bahkan, kehidupan saya yang biasanya datar-datar saja tanpa dinamika yang berarti, empat bulan ini terbilang memiliki fluktuasi yang tak pernah terduga sebelumnya.

Hal-hal yang terjadi dengan saya dan sekitar saya selama pandemi:
  1. Kamar sewa yang telah tiga tahun saya tempati, untuk pertama kalinya, kebanjiran. Air memenuhi kamar dengan tinggi semata kaki orang dewasa. Semua barang yang di lantai basah. Membutuhkan waktu sehari untuk membersihkan ruangan, tetapi butuh seminggu lebih untuk mencuci dan mengeringkan barang-barang.
  2. Kalang kabut mencari kamar sewa yang baru karena selalu cemas setiap hujan datang.  
  3. Penjual makanan di ujung jalan tempat tinggal dikabarkan berpulang karena kena wabah.
  4. Kecemasan meningkat berkali-kali lipat karena tragedi-tragedi tersebut yang berakibat pada semakin giat mencari hunian yang baru.
  5. Ibu saya terpeleset di gang depan rumah dan tangannya patah. Beberapa waktu setelahnya, ayah saya demam. Saya khawatir, tetapi situasi tidak memungkinkan untuk ke rumah.  
  6. Kesulitan mendapat hunian baru yang sesuai ekspektasi. Kegelisahan saya enggan pergi. Sembari mencari yang pas, saya sempat menyewa kamar sementara di dekat kantor. Upaya ini dilakukan agar tidak terus terbebani oleh pikiran yang merongrong jika tetap tinggal di tempat yang lama. Hanya membawa beberapa barang penting saja.
  7. Mulai merawat tanaman hias dengan media tanam air. Kebetulan, kamar sewa saya yang lama memiliki banyak tanaman hias sehingga saya izin kepada pemilik untuk meminta beberapa bibitnya. Aktivitas ini cukup efektif mengurangi ketegangan.
  8. Saat sedang mencicipi granola yang campurannya terdiri dari kacang mete dan/atau almon, mendadak saya sesak nafas untuk beberapa waktu. Sepertinya, ada perubahan pada reaksi tubuh saat mengonsumsi salah satu jenis kacang tersebut. Sebelum-sebelumnya, tidak pernah alergi memakan kacang-kacang tersebut. Sempat dirundung resah karena gejala yang muncul menyerupai gejala penyakit yang berkembang di situasi seperti ini.
  9. Radius mobilitas saya hanya sekitar lima kilometer sejak pandemi. Berkisar pada tempat tinggal, swalayan, dan tempat kerja. Selain kolega kantor, saya tidak pernah bertemu dengan kawan maupun keluarga.
  10. Akhirnya, saya benar-benar pindah tempat tinggal menjadi lebih dekat dengan kantor. Proses pindahan menggunakan jasa angkut yang dipesan lewat aplikasi berlangsung tidak sampai dua jam. Padahal, berkemas semua barang sendirian memakan waktu berhari-hari. Sangat menguras emosi dan fisik sekaligus.
  11. Bunga yang bertahun-tahun saya ketahui berjenis lily, ternyata jenis sebenarnya adalah amarilis, berbunga dengan cantiknya di halaman kamar saya. Memberikan makna baru pada hari-hari yang pelik ini. Insiden berkembangnya bunga ini terbilang langka karena terakhir mekar sekitar dua tahun yang lalu.
Kejadian-kejadian ini membuat emosi saya bergejolak. Marah bergolak tanpa henti. Risau yang tak kunjung pergi. Sedih merundung hari. Ketakutan mencengkeram seperti cakar harimau lapar mengoyak mangsa. Sementara, bahagia hanya datang sesekali untuk merangkul dan memberi kehangatan di tengah musim yang mencekam.

Ada saat di mana saya mencuci tangan terlalu sering sampai lapisan kulit menjadi kering. Ada saat di mana keresahan berlebihan meliputi sampai tidak berkenan bertemu dengan siapapun. Ada saat di mana saya benar-benar sulit mengendalikannya, makan pun jadi kurang berselera, apalagi menjalani kewajiban kerja. Ada saat di mana saya membutuhkan waktu berjam-jam untuk dapat tertidur dengan nyenyak. Ada saat di mana saya bangun dengan kepala yang berat, berat untuk memulai hari.  Ada saat di mana saya hampir menyerah dengan diri saya sendiri.

Inilah nasib hidup berkawan kesepian di rimba ibukota yang tengah paceklik. Mustahil sepertinya mengandalkan teman dengan kondisi yang sama-sama sedang sukar. Hubungan yang terjalin kadang hanya berupa kerja-kerja formal sehingga sungkan untuk meminta bantuan. Atau mungkin saja, saya yang sebenarnya tak punya apa yang orang-orang sebut sebagai teman?

Melihat kembali di sendiri pada saat ini, masih dapat merangkai kata-kata ini, saya cukup bangga dengan diri saya yang sedapat mungkin telah bersusah payah, berjibaku, dan jungkir balik mengelola emosi sehingga masih bertahan dalam melewati hari-hari di tengah pandemi.  

Mungkin, yang bisa dilakukan ya bertahan dari hari ke hari. Mencemaskan masa depan dengan kekhawatiran berlebihan hanya akan mencederai detik-detik yang berharga. Detik-detik yang selayaknya dipetik dengan cermat untuk kemudian kita satukan dalam satuan waktu bernama hari. Carpe diem.

Vaksin terus diuji coba dengan berlapis tahapan
Entah butuh berapa caturwulan sampai benar-benar siap diedarkan
Sementara menunggu, yang kita bisa lakukan adalah sebaik-baiknya bertahan
Semoga umat manusia masih bisa menggantungkan harapan pada keajaiban

0 comments:

Post a Comment