Friday, July 10, 2020

Transaksi

Kadang, hubungan saudara hanya sebuah predikat
Bukan sebuah koneksi yang terhubung erat

Rasa kesal dan kecewa menggantung beberapa hari belakangan. Sebuah komunikasi, dengan tujuan transaksi dengan salah satu saudara yang berniaga, sukses membuat saya meradang.

Ia adalah salah satu saudara dari keluarga besar. Kami sebaya dan sama-sama perempuan sehingga cukup dekat semasa sekolah karena tinggal dalam satu wilayah. Beda kota saat berkuliah membuat kami agak jauh. Akan tetapi, komunikasi kami biasanya hangat. Saling bertukar kabar dan bercerita tentang banyak hal saat ada kesempatan berbincang, baik di dunia nyata maupun dunia maya. 

Sekarang, ia sudah menikah dan punya anak. Sudah cukup lama berjualan apa saja secara daring. Kebanyakan perabotan rumah tangga. Baru-baru ini, ia mulai menjual produk perawatan wajah.

Sejak ada fitur story di WhatsApp, saya jadi sering melihat statusnya yang kebanyakan promosi produk-produk yang dijual. Penghujung tahun lalu, saya berminat pada barang yang dipasarkan, panci antilengket dan aksesori telepon genggam. Responnya masih ramah dan cukup baik. Saya hanya membeli barang yang pertama karena yang kedua stoknya sedang habis.

Beberapa bulan setelah itu, saya berminat lagi pada pengeras suara portabel. Iklannya menunjukkan sebuah merk terkenal dengan harga cukup miring. Saya pun memastikan produk tersebut ternyata merk yang dijual berbeda dengan yang diiklankan. Saya akhirnya tidak jadi beli.

Ada suatu hal dari dirinya yang menyebabkan hubungan kami kian renggang. Di suatu waktu di tahun ini, ia dengan lancang memasukan saya ke grup WhatsApp keluarga besar. Sesuatu yang amat saya hindari sejak dulu. Ia memicu amarah saya karena tidak bertanya dahulu apakah saya mau bergabung atau tidak di kelompok percakapan daring tersebut. Segera saya keluar sebelum banyak yang menyadari saya masuk di sana. Langsung saya sampaikan betapa sebalnya saya akan hal ini lalu dia minta maaf.

Hubungan saudara, saya pikir, wajar jika ada perselisihan. Pada akhirnya, akan kembali lagi karena mau tidak mau suatu saat akan bertemu entah kapan dan entah dalam acara keluarga seperti apa.

Sebaran wabah yang tak kunjung mereda mendorong saya untuk menjaga diri dan keluarga. Kebetulan sekali, ia menjual pelindung wajah dengan model yang saya incar. Sehari setelah ia mempromosikan produknya, saya bilang bahwa saya berminat. Sesaat menjelang makan siang, saya menanyakan stok barang tersebut dan apakah bisa diantar langsung ke rumah keluarga saya. Rumahnya dan rumah keluarga saya bisa dibilang berdekatan. Namun, ia mengatakan kalau harus membawa anaknya yang masih kecil, ia tidak berani. Baiklah, pakai jasa antar ojek daring saja.

Saya menduga ketika sudah membicarakan proses pengiriman, barang sudah siap diantar. Eh ternyata, dia masih belum bisa memastikan barangnya ada atau tidak. Informasi terkait stok barang tersebut baru akan ada sore harinya. Baiklah, akan saya tunggu.

Sore harinya, ia mengabarkan bahwa stok barang tersebut habis dan menawarkan barang serupa dengan model yang berbeda. Saya tidak suka dengan model yang ia tawarkan. Namun, dia agak memaksa untuk membeli model tersebut dan malah bikin saya makin sebal. Saya bersikukuh hanya mau membeli model yang saya inginkan. Dengan masih beritikad baik, saya minta dikabari jika model yang saya mau sudah ada stoknya.

Esok paginya, ia menelepon dan mengirim pesan. Kemudian, ia menelepon sekali lagi. Saya dalam keadaan sedang senewen karena kamar sewa saya harus diperbaiki saluran airnya secara mendadak sepagi itu tanpa pemberitahuan sebelumnya. Pihak pengelola kamar sewa juga melakukan aksi gedor-gedor pintu yang sangat mengganggu kenyamanan. Mungkin, ia menghubungi di saat yang tidak tepat juga. Saya mengabaikan teleponnya dan baru membalas pesannya setengah jam kemudian, memberitahukan bahwa saya sudah membeli barang tersebut dari orang lain.

Sesaat setelah ia mengabarkan stok barang habis dan memaksa membeli model lain, saya segera tersadar sesuatu. Biasanya, ketika hendak membeli suatu barang di toko dan barangnya habis, penjual akan meminta maaf terlebih dahulu kepada calon pembeli dan baru kemudian menawarkan alternatif yang lain. Sementara, saudara saya ini tidak meminta maaf sama sekali, yang ada malah memaksa. Setelah kejadian sore itu, saya menelusuri percakapan terkait transaksi-transaksi kami berbulan-bulan sebelumnya. Saya mendapati ia tidak pernah minta maaf saat stok barang yang saya inginkan sedang habis, ia juga tidak minta maaf karena saya telah menunggu lama.

Benar memang apa yang tertulis di kutipan-kutipan yang beredar, yang sulit itu mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih. Kata maaf berada di urutan pertama, mungkin karena kata itu menjadi kata dengan tingkat kesulitan tertinggi untuk diucapkan. 

Responnya yang demikian membuat saya kapok berbelanja barang-barang jualannya. Selain itu, saya mengingat panci antilengket yang pernah saya beli darinya, baru beberapa kali dipakai sudah rusak permukaannya. Bagaimana saya tidak semakin kecewa?

Malam setelah percakapan tersebut berlangsung, saya bergegas mencari barang serupa di sebuah lokapasar daring. Menelusuri rupa-rupa model pelindung wajah sembari membaca ulasan para pembeli, saya menemukan sebuah toko yang terpercaya. Langsung saya beli dua untuk bapak dan ibu di rumah. Gratis ongkos kirim ditambah harganya juga lebih murah. Selang dua hari, ibu saya mengabari kalau barang sudah sampai di kediaman. Praktis tanpa harus melewati percakapan bertele-tele dan menjengkelkan.

Jika kejadian dengannya terjadi di lokapasar daring, mungkin saya sudah mencak-mencak di kolom ulasan penjual dan memberikan bintang satu. Yang bisa saya lakukan hanya menumpahkan keluh kesah belasan alinea, mencapai 700-an kata, di halaman ini.

Setidaknya, hati saya sekarang sudah lebih plong!

0 comments:

Post a Comment