Bagaimana rasanya berbulan-bulan melewati jalur yang sama?
Bagaimana rasanya berbulan-bulan hanya ada tiga tempat yang selalu dikunjungi?
Bagaimana rasanya berbulan-bulan menjalani ritme hidup yang begitu-begitu saja?
Sejak Maret, tingkat kewaspadaan meningkat beribu-ribu kali lipat. Kecemasan menggerogoti hari-hari, menghisap jam tidur, menguras energi. Perlahan-lahan kecemasan menurun, namun tetap dalam mode siaga. Tetap memakai masker, tetap mencuci tangan sehabis memegang apapun, tetap mengantongi botol hand sanitizer, tetap menjaga jarak dengan orang lain, baik yang dikenal apalagi dengan orang asing.
Sejak negara tempat saya berpijak mengumumkan bahwa negeri ini dilanda pandemi, saya tidak berani ke mana-mana. Awalnya, bekerja juga dilakukan dari tempat sendiri. Akan tetapi, lama kelamaan kesendirian ini malah membuat dosis kekhawatiran kian meninggi. Kebetulan, kantor tempat saya bekerja memang memiliki sedikit karyawan dan kami bekerja di ruangan berbeda. Saya akhirnya ditawarkan untuk masuk kantor dengan mendapat fasilitas jemput antar untuk menjaga keamanan dan kesehatan bersama. Protokol kesehatan di kantor juga ketat, seperti wajib cuci tangan sebelum masuk kantor, setiap ada barang masuk disemprot disinfektan, uang kertas juga diperlakukan demikian, hand sanitizer di berbagai sudut, dan wajib pakai masker. Saya malah merasa aman berada di tempat kerja.
Tempat tinggal ke tempat kerja, dan dalam seminggu sekitar satu dua kali ke minimarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Beberapa minggu awal pandemi, saya selalu masak sendiri. Saya sampai tidak berani untuk memesan makanan lewat layanan aplikasi. Saya separanoid itu. Sekitar sebulan setelah mendapat masukan untuk mengecek lewat media sosial apakah tempat makan yang akan saya pesan melaksanakan protokol kesehatan, barulah saya berani memesan makanan dari restoran yang terpercaya. Saya sudah tidak pernah jajan di pinggir jalan.
Selama empat bulan ini, rute saya hanya tempat tinggal - tempat kerja - swalayan dengan radius kurang dari lima kilometer. Berulang terus seperti itu. Saya tidak berani naik kendaraan umum, tidak berani ke tempat teman apalagi ke tempat umum lainnya. Riwayat sakit pernafasan di masa lalu membuat saya rentan dan dicengkeram ketakutan.
Tempat saya bekerja memiliki kantor cabang yang berlokasi di Tangerang. Sejak pertama masuk kerja, saya belum pernah berkunjung ke sana. Padahal, jaraknya hanya berkisar tiga puluh menit saja dari kantor utama.
Jumat pekan lalu, saya berkesempatan melakukan visitasi. Perjalanan dilakukan dengan kendaraan roda dua. Meski memakai helm dan masker, saya masih bisa merasakan semilir angin yang sejuk di perjalanan. Melihat suasana baru yang berbeda dari pemandangan sehari-hari. Menyaksikan pedagang yang dengan sabar menunggu pelanggan, anak-anak kecil yang bermain sepeda dengan riang dan tawa, rimbunan pohon di sisi-sisi jalan, mengagumi aristektur hunian saat melewati sebuah kompleks villa, dan mengagumi langit biru lengkap dengan gumpalan awan putih yang mengiringi kami sepanjang perjalanan. Hati saya senang sekali bisa mengalami suasana yang berbeda dari biasanya.
Setiap detik perjalanan begitu saya resapi baik-baik. Sebuah perjalanan singkat di luar rutinitas harian saya. Memberikan nuansa baru di hati dan pikiran. Rasanya, seperti ke luar dari kepenatan yang menumpuk tidak karuan. Tidak menyangka dengan melakukan kunjungan kerja ini telah membuat saya bahagia. Mungkin, bahagia memang sesederhana ini.
0 comments:
Post a Comment